L I M E R E N C E [ 4 ]

407 29 4
                                    

"Keharmonisan itu perlu, tak harus memangku. Kehangatan itu ada, untuk keluarga yang lebih bahagia. Hentikan ego demi anak semata wayang dan mulailah saling memberi kasih sayang."
~Petter Marlino Adeliem

Suasana makan malam kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Hanya suara denting sendok yang menyentuh piring. Hanya suara kunyahan makanan di dalam mulut. Hanya ada suara cicak yang sedang kawin. Aku tentu sangat bosan.

"Yah," panggil bunda disuapan terakhirnya.

Ayahku berdeham pelan. "Kenapa, Bun?"

"Si Ratna, Yah. Kasihan dia, suam—" Aku memundurkan kursi yang kududuki, lantas beranjak naik ke lantai atas di mana kamarku berada. Ayah dan bunda menatapku keheranan, tidak biasanya anak semata wayangnya pergi tanpa pamit. Bunda menghela napas panjang.

"Gimana tadi, Bun?" tanya ayah, santai. Makanannya sudah habis, jadi beliau siap mendengarkan curahan hati istri tercintanya.

"Kasihan Ratna. Suaminya selalu pulang malam. Dia juga kelihatan kurus sekarang. Dia kan punya anak masih kecil, Yah. Nanti kalau tidak diurus bagaimana?" curhat bunda, khawatir.

Ayahku manggut-manggut paham. "Emang suaminya ke mana?" tanya ayah, terlalu santai.

"Suaminya selalu pulang larut malam. Dia juga hanya sebulan sekali kasih Ratna uang. Itu juga gak seberapa. Dari dulu Ayah kan tahu, kita sudah larang Ratna untuk gak nikahin dia, malah ngeyel," cibir bunda mengingat masa itu dulu.

Ayah terkekeh pelan. "Adikku sudah jatuh cinta, mau diapakan juga tetap maunya sama dia, Bun. Kalau sudah tahu mah, dia pasti sadar cintanya buta," petuah beliau, bijak.

"Terus gimana lanjutannya?"

"Bunda coba bicara sama Ratna. Dia gak akan mau denger ucapan Ayah."

"Sudah, Yah."

Ayah tersenyum sebentar. "Ya nanti Ayah coba bicara sama suaminya. Ayah sering lihat kok dia di kelab malam," ceplos ayah tanpa beban.

Bunda membelalakkan mata sempurna. "Kelab malam? Ayah ke sana juga??" picing bunda, suuzan.

Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. "Enggak, Bunda. Ayah gak mungkinlah ke sana. Ayah kebetulan lewat situ, lihat dia masuk ke sana," ucap ayah menjelaskan perlahan.

Hening.

Bunda bergeming cukup lama. Beliau terus menunduk dalam. Pikirannya mencabang ke mana-mana.

"Bunda gak usah khawatir. Semua akan baik-baik aja."

***

Baru saja.

adhyasthaadelio mulai mengikuti Anda. 3 menit.

Mataku melebar sempurna. Ini beneran dia kakak yang itu? Siapa ya? Kak ... Adhy? Aku terus bertanya-tanya dalam hati, lantas menyunggingkan senyum. Segera kuklik papan biru bertuliskan ‘mengikuti’. Ih, kok rasanya senang sekali.

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari aplikasi whatsapp. Aku membukanya. Perlahan kedua ujung bibirku terangkat mengukir senyuman.

WhatsApp

AAC
Apa kabar, Dek?

Besok Aa brgkt misi, huhu.

Aku mengernyitkan dahi. Misi? Apa dia akan pergi melakukan tugasnya? Di manakah gerangan?

Kbar baik, alhamdulillah. Aa apa kabar?

Di mana?

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang