L I M E R E N C E [ 1 3 ]

192 15 1
                                    

"Aku percaya pada Tuhan, semua akan indah pada waktunya."
             ~Anggie Aaradhya Wijaya                

"Pet," panggilku. Petter menyahut pelan. "Aku ke toilet bawah bentar," pamitku beranjak meninggalkan balkon. Petter menganggukkan kepalanya.

Ketika pintu kamarnya baru saja kubuka, samar-samar kulihat figur seorang pria berlalu dari dapur. Mataku melotot lebar. Secepat kilat aku membalikkan badan dan masuk lagi ke kamar Petter. Ketiga temanku menatapku bingung. "Cepet amat? Kenapa lo?" tanya Yasmine merasakan kejanggalan.

Telunjukku mengarah ke belakang. Mataku lekat menatap Petter. "Di bawah Pet," ungkapku belum selesai. Aku tergagap-gagap.

"Di bawah ada siapa? Maling?" sela Yasmine santai.

Aku menggeleng kuat-kuat. Petter masih anteng menunggu jawabannya. "Di bawah ada om Reno," ujarku dalam satu tarikan napas. Napasku terengah-engah walau tak sedang dikejar-kejar seseorang.

Petter melebarkan matanya. "Bagaimana om bisa masuk?" tanya Petter menggumam. Aku mengedikkan bahu. Dia berpikir keras sembari duduk di ujung kasur. Kami bertiga mengamatinya. "Gini," cetus Petter memulai rencana misi.

"Apa Pet?" selaku tak sabaran.

"Aku sama Deva nanti turun ke bawah, ngecek ada apa enggak. Lagi pula ini kesempatan bagus. Ayah udah nyari ke mana-mana tapi gak ketemu-ketemu. Eh justru buronannya masuk ke kandang sendiri."

"Kalau ada suara dari bawah, kalian telepon aja nomor ayahku atau om Adeliem di whatsapp. Ada kok, cari aja. Ponselku gak kekunci," ungkapku memberitahu.

Petter mengangguk setuju. "Jangan lupa ya!"

Petter mencoba mengabari sebentar ayah dan ibunya. Tentu saja berkali-kali panggilan dialihkan. Walaupun nanti akan dijawab juga sih. Tanpa menunggu waktu lagi, aku dan Petter keluar kamar. Demi strategi yang dibuat oleh Petter, aku jalan lebih dulu. Memang kurang ajar aku yang jadi taruhan! Kenapa gak bareng aja gitu ya? Mana di bawah gak ada bibi. Katanya beliau lagi libur sehari kata Petter. Dan aku takut banget! Traumaku terjadi nyata.

Begitu kaki ini melangkah, justru tertahan di depan dapur. Mataku menatap lekat kaki milik orang yang sedang duduk di kursi makan. Pandanganku semakin naik, semakin terlihat pula wajahnya. Mataku melotot sempurna. Kaki ini tak henti-hentinya menegang. Tak kuasa saling bertatap muka terlalu lama, aku putar balik. Namun, tanganku dicekal dari belakang. Mulutku terbungkam karena telapak tangannya yang mencomot dari belakang. Orang tersebut memiting tanganku. Tak puas, dibawanya aku ke kursi makan yang barusan didudukinya, mendaratkan bokongku di kursi empuk tersebut. Tangannya terlepas sejenak untuk mengambil pisau yang sejajar dengan buah-buahan. Pisau itu disodorkannya ke leherku yang tertutupi hijab. "Diem atau Om bunuh kamu sekarang!" ancam beliau, sadis. Aku bergidik ngeri mendengar penuturannya yang pelan namun penuh penekanan.

Benar, aku tak salah lihat. Aku tak buta karena cintanya abdi negara. Objek yang barusan kulihat tepat di depan mataku adalah om Reno.

Kenapa cobaannya begitu berat, Tuhan?!

Aku baru ingin bersantai setelah maraton ujian dari USBN hingga UNBK, justru mendapat masalah begini.

"Ngapain Om di sini?" tanyaku berbasa-basi.

Om Reno tersenyum misterius. "Lo yang ngapain di sini! Ini rumah Om!"

Jangan ngarep!

"Iya, ini rumah Om. Ini keluarga Om. Udah gue duga lo bakal penasaran terus sama omnya Lino yang notabene Om lo juga!"

"DEV?!" panggil Petter sengaja memekik. Mata om Reno terbuka lebar. Beliau gelagapan. Langkah kakinya tak terarah entah ke mana meninggalkan pisau di meja.

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang