L I M E R E N C E [ 1 5 ]

187 13 1
                                    

"Yang salah aku yang terlalu berharap atau kenyataan akan profesimu?"
~Adeeva Afsheen Myesha

Pukul 13.34 WIB. Telah terjadi gempa yang melanda Indonesia di Samudra Hindia selatan Pulau Jawa.

Siaran berita di televisi membuat perhatian tante Ratna teralihkan. Sedari tadi dirinya sibuk bermain bersama dik Syifa. Beliau melihatku berjalan menuruni tangga. Aku meliriknya sekilas. Tante Ratna mencegah pergelangan tanganku secepat kilat meninggalkan dik Syifa sendiri di atas karpet empuk depan televisi. Beliau menatapku cemas. "Mau ke mana, Dik?" tanya tante Ratna, khawatir.

Aku mengernyit heran. Mataku bertemu dengan layar televisi yang menyiarkan berita ter-update. Aku menghela napas gusar. "Deva ingin keluar sebentar, Tante. Nggak terlalu jauh kok, dekat Yonif." tuturku memberi tahu. Tante Ratna semakin mengeratkan cekalan tangannya pada pergelangan tanganku. "Tante ini. Deva nggak apa-apa. Toh itu gempanya di Banten, ini Semarang loh, nggak terasalah
kalau di sini." alihku berusaha tenang. Tante Ratna mengangguk samar. Pelan-pelan dia melonggarkan cekalan tangannya. Aku tersenyum sekilas. Kusalami punggung telapak tangannya. "Deva pergi dulu ya. Udah izin sama bunda kok."

***

Di kafe dekat Yonif.

Bukan prediksiku jika kafe ini ternyata masih ramai pengunjung di jam siang-siang begini. Mereka terlihat santai menyeruput
minuman dan melahap makanan yang dipesan. Aku masuk ke dalam tepat belnya ikut berbunyi. Pandanganku menyapu ke segala arah. Tidak ada pria berseragam loreng di dalam kafe ini. Aku menghela napas panjang. Dia pasti sedang dalam perjalanan. Sejauh mana kafe ini dengan Yonif? Dia tak akan lama untuk datang. Langkah kakiku melangkah lemas menghampiri meja yang masih kosong, tepatnya di sebelah jendela besar yang pemandangannya langsung tertuju dengan jalanan ramai lalu-lalang kendaraan depan kafe.

Kuletakkan tas ranselku di atas meja. Tanganku mencomot ponsel di dalamnya. Kuutak-atik ponsel tersebut hingga yang kudapati hanyalah notifikasi 'terakhir dilihat kemarin' dari kontaknya di whatsapp. Aku menghela napas berat. Seorang pelayan muda datang menghampiri. "Mau pesan sekarang atau nanti?" tanya pelayan tersebut, ramah.

Aku tersenyum tipis. Kucomot daftar menu yang dia bawa. "Cappucino Coffee satu, Mas." Pelayan tersebut mengangguk. Dia
berlalu pergi setelah mencatat pesananku.

Tanganku kembali berselancar di atas layar ponsel. Kupelototi terus info tersebut. Mataku semakin melebar kala info tersebut
berubah menjadi 'online'. Belum selesai mengetikkan sesuatu untuknya, dia kembali offline. Aku berdecak kesal. Sudah macam prank saja. Karena kesal, aku membanting ponselku di meja bertepatan dengan datangnya pelayan barusan sembari menenteng nampan. Aku meraih ponselku lagi. Pelayan itu geleng-geleng kecil. "Ini Mbak, pesanannya." suguh pelayan tersebut menaruh gelas minuman di depanku.

Aku menyengir. "Terima kasih, Mas." Pelayan itu mengangguk.

"Ada lagi?" tanya dia menawarkan.

Aku menggeleng kecil. "Nanti saja, Mas." Pelayan tersebut berlalu pergi.

Aku menyeruput minumanku. Kubuka lagi ponselku dan tak ada pesan apa pun darinya. Sudah setengah jam terlewat dan dia masih belum datang. Aku mendengkus kecil. Apalagi yang kurasakan ini? Hatiku mulai gelisah.

Tak peduli dengan perjanjian kami untuk bertemu, aku sibuk memainkan ponsel sendirian dan menghabiskan waktuku di kafe ini. Pengunjung kafe mayoritas berdua bersama temannya atau dengan sang pacar, tapi aku seorang diri. Ngenes banget.

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang