L I M E R E N C E [ 6 ]

305 24 1
                                    

"Bukan kesamaan nama, namun perasaan yang telah tertanam lewat perbincangan yang berlangsung sejak lama."
~Adesta Adelilo Cakra

Sebuah taksi telah sampai di depan rumah megah dengan pagar menjulang tinggi. Seorang gadis keluar dari taksi tersebut. Iya, dia Deeva. Sore menjelang magrib tadi, bunda menyuruhnya pulang untuk istirahat. Kini giliran bundanya yang menjaga ayah di rumah sakit.

Kakiku melangkah lemas memasuki rumah, mendapati bi Irah dengan perasaan campur aduk. "Gimana keadaan bapak, Non?" tanya bibi tak sabaran. Aku baru saja masuk loh ... ini.

Aku berdecak pelan. "Ayah baik-baik aja, Bi. Sudah siuman," ungkapku santai.

Bibi menghela napas lega. "Syukurlah kalau gitu." Aku menggumam saja. "Non mandi dulu, nanti makan malamnya Bibi siapin." Lagi, aku hanya mengangguk. Toh bibi kalau masak lumayan lama, jadi ada waktu untukku tidur.

Setelah bercengkerama dengan bibi di depan pintu, aku mulai melanjutkan langkahku yang tertunda ke lantai atas. Begitu sampai di kamar, aku melupakan perintah bi Irah untuk mandi. Karena pilihanku adalah ranjang empuk yang bagaikan candu bagiku. Rasanya aku ingin tidur sampai malam berganti pagi. Tak peduli tubuhku lengket karena keringat. Rambutku lepek karena belum keramas. Aku tak mampu melakukannya. Naluriku terlalu tinggi untuk menghampiri kasur empukku ini. Dan benar saja, aku tidur hingga arunika telah menggantikan bulan. Aku melenguh, merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Oh, ini masih lumayan pagi. Masih pukul 05.30 WIB, masih sempat melaksanakan salat. Karena itu aku bergegas mandi dan langsung saja menunaikan kewajibanku sebagai umat Islam.

Setelah merapikan penampilanku di depan cermin, aku tanpa pamit meninggalkan rumah. Menghampiri grab pesananku yang sudah menunggu di depan pagar.

Di pertengahan jalan, aku mengecek ponselku. Masih belum ada balasan darinya. Aku mencoba berpikir positif. Melupakan masalah ini yang bahkan tak sepatutnya aku pikirkan berlarut-larut. Aku ini siapa? Dan dia siapa? Dia hanya seorang tentara yang baru-baru ini kami saling mengenal nama. Tak sewajarnya aku memikirkannya yang bahkan status kami entah apa. Teman? Rasa-rasanya masih belum bisa dikatakan sebagai teman. Kami hanya sekali bertemu dan suasananya tak mengasyikkan. Bahkan chatting saja tidak ada gairah. Tidak membayangkan pula kalau dia seorang tentara kala kami saling mengabari lewat aplikasi whatsapp. Jadi, kuputuskan hari ini bahwa aku akan menjalani kehidupan seperti biasa. Sama seperti kehidupan sebelum aku bertemu dengannya.

Tentu yang pertama kutemui di kelas adalah Petter. Teman sebangkuku yang kutinggalkan dia sendirian kemarin. Baru satu langkah aku memasuki kelas, Petter sudah berlari kencang menghampiriku. Merangkulku tepat di depan pintu. Dia memang benar-benar ajaib. Tenang, aku tak merasakan apa pun saat rangkulan itu terjadi. Jantungku berdegup tak terlalu cepat. Masih dalam kondisi normal. Mungkin ini bisa dikatakan biasa-biasa saja sejauh ini. Entah nanti akan seperti apa aku tidak tahu. "Ck! Aku kangen banget sama kamu, DEVAA!!" ceplos Petter dengan nada tinggi.

Seluruh pasang mata menatap kami aneh. "Lebai kamu!" sungutku menghempaskan tangannya yang nangkring di pundakku secara paksa. Petter memanyunkan bibirnya, justru terkesan menjijikan. Aku menabok bibirnya, pelan. "Jijik ih!" Dia mendorong pundakku hingga sampai di tempat duduk kami.

"Gimana keadaan ayahmu?"

Aku mengedikkan bahu, acuh. "Ya gitu."

Petter geleng-geleng kepala. "Kenapa sih? Ada masalah sama keluargamu?" tanya Petter, kepo.

"Mereka akhir-akhir ini terlalu sibuk," ungkapku setelah lumayan lama kami saling terdiam.

Petter manggut-manggut paham. Tentu saja, dia kan memang selalu sendiri di rumah bersama asisten rumah tangganya. Dan dia sudah terbiasa akan hal itu. "Mereka kan sibuk kerja juga buat kamu, Dev."

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang