L I M E R E N C E [ 1 7 ]

4 0 0
                                    

"Sebenarnya halu kalau ditekuni terus bakal jadi kenyataan nggak sih?"
~Yasmine Fredella Halim

Terlambat tiga puluh menit adalah hal biasa bagiku. Tapi bagi seorang prajurit TNI, rasanya seperti cambuk. Seperti yang kami
jalani ini, Letda Adhy begitu tergesa-gesa memasuki kafe meninggalkan aku yang berjalan seperti keong.

"Mas, hmm!" sungut diriku berjalan malas masuk ke kafe. Inginku bernyanyi, 'Kumenangis'. Aku ditinggal begini mana tak digandeng pula.

Aku menatap sekeliling, seluruh penjuru kafe dipenuhi oleh manusia 'kacang hijau'. Kakiku rasanya lemas, tapi aku tak ingin pingsan di sini. Bahkan lemasnya bertambah hebat ketika semuanya
menatapku penuh binar. "Siap! Izin! Lapor, Danki! Maafkan saya datang terlambat." lapor Letda Adhy tak digubris oleh Kapten Rio. Kapten juga ikut serta memandangku penuh bangga, kok.

Letda Adhy memandang sekelilingnya, dia menoleh ke belakang mengikuti arah pandang seluruh prajurit yang menatapku tak biasa. Dia menyengir lebar. Kaki besarnya melangkah menuju ke arahku
tepat di pintu masuk kafe.

Aku tersenyum kikuk kepada seluruh atensi. Letda Adhy berdiri di depanku menutupi arah pandang mereka.

Serda Lilo paling keras mendengkus. "Ck! Danton ini! Kita sedang menilai calon kakak ipar malah ditutupin!"

"Posesif, Ndan." cibir Prada Kiky yang telah naik pangkat menjadi Pratu mengimbangi Pratu Dimas.

Kapten Rio tertawa terbahak-bahak. "Sudah, tak apa. Yang punya acara Kiky kok malah laporan ke Abang." kekeh Kapten baru membalas.

Letda Adhy menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sikutnya mengetuk jidatku. Aku refleks memegangi jidat, mengelus-elusnya secara perlahan.

"Eh, Danton! Itu kasihan de pu pacar kena sikut Komandan, haha." Pratu Dimas menimbrung dengan tawa khasnya.

Letda Adhy berbalik badan. Dia mengelus dahiku menggunakan punggung tangannya yang sengaja ujung lengan seragamnya dia tarik supaya menutupi punggung tangannya sembari meniupnya pelan.

"Adegan di bawah umur, tolong jangan dijingok!" peringat Prada Ian tertawa meledek.
(Jingok = lihat)

"Saya nggak nyosor loh ya!" tangkal Letda Adhy, tegas. "Sini, Dek." Dia menuntun tanganku untuk duduk di meja yang masih
kosong. Hanya diisi oleh Kapten Rio.

"Pak." tuturku memberikan salam padanya. Kapten Rio mengangguk ramah.

"Jadi kita lagi ngerayain kenaikan pangkatnya Kiky atau apa nih?" sindir Serda Lilo cengengesan.

"Kita mesti telepon pacar masing-masing, haha." timbrung Pratu Dimas memperkeruh suasana.

Kapten Rio berdeham pelan. Sadar diri dia, kan belum punya calon. "Sudah, sudah. Kita nikmati saja malam ini." lerai Kapten
menyudahi.

Klinggg!

"Maaf, Mbak. Mbak tidak bisa masuk ke sini. Kafe ini sudah dihendel sama seseorang untuk malam ini." ujar pelayan depan memberi tahu. Pelayan tersebut menghalang-halangi pergerakan seorang gadis dengan merentangkan kedua tangannya.

Gadis yang barusan masuk tersenyum sinis. "Gue langganan loh Mas, di sini. Gue mau makan malam sekarang!" protes gadis tersebut membentak.

Aku menoleh ke belakang. Mataku melebar sempurna. "Yas?" cengo diriku menatap figurnya tengah berdebat dengan pelayan. Aku menatap figur lain di luar kafe. Itu Anggie. Segera kumundurkan kursiku. Kakiku melangkah cepat ke arah mereka. Semua pasang mata tertuju padaku. "Tunggu, Mas." cegahku menyela perdebatan mereka berdua. Pelayan tersebut menurut. Dia menunduk dalam.
"Biarkan dia masuk." ujarku membuat mata Kapten Rio melebar.

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang