E P I L O G

484 11 0
                                    

Tok tok tok

"Assalamu 'alaikum." salamku di depan pintu tunggal berwarna cokelat.

Tak banyak waktu, pintu kecil itu terbuka, menampakkan figur wanita paruh baya mengenakan jilbab. "Wa'alaikumus-salam, eh ... A." speechless ibuku menerima pelukan hangat dari putranya. Beliau
membalas pelukanku dengan senang hati. "Dede, aya Aa yeuh." teriak beliau memberi tahu adikku.

Suara langkah kaki tergesa-gesa membuatku terkekeh pelan. Pelukan hangat kami terlepas bertepatan dengan kehadiran Anggita di belakang ibu.

"Aa!" pekik Anggita semangat sekali.

Rasa rindu mereka yang terlalu meluas mengakibatkan waktu singkat beberapa hari lalu tidak membuat mereka puas. Mungkin dengan memutuskan bermalam di sini, rasa rindu ibu dan adikku bisa terobati. Aku memeluk erat tubuh Anggita.

"Dede kangen banget sama Aa." bisiknya di telingaku.

Aku tersenyum lebar. "Aa juga kangen sama Dede." tuturku tulus hati.

Ibu menatap dua prajurit lain yang berdiri mematung di belakangku. Beliau mempersilakan mereka berdua untuk duduk di sofa ruang tamu. Sebelum itu, mereka menyalami punggung tangan
ibuku. Aku melepaskan pelukan kami. Dia berlalu masuk mungkin berniat membuatkan minuman dan menyiapkan camilan. Aku mengikuti pergerakan yang lainnya untuk duduk, tentu saja di sebelah ibu.

"Aa akan bermalam di sini Bu, dengan mereka berdua. Boleh kan, Bu?" tanyaku meminta izin.

Ibu memukul pahaku pelan. "Tentu saja boleh atuh, A."

Dua prajurit itu tersenyum tak enak. "Siap! Izin! Maaf merepotkan, Bu."

"Tidak kok. Malah Tante senang." ungkap ibu jujur. Kami tersenyum lebar. "Oh iya, ibu lihat-lihat seragam Aa ada yang beda.
Aa beli lagi?" terka ibuku polos.

Aku tertawa lebar, lantas menunjuk pangkatku yang tersemat di bahu. "Bukan beli lagi, Ibu. Tapi Aa sudah naik satu pangkat."

"Alhamdulillah." Puji syukur dipanjatkan oleh mereka termasuk Anggita yang kembali dengan membawakan nampan. Benar apa dugaanku. Dia semakin rajin saja setelah ditinggal lama olehku. Dulu dia bandelnya bukan main, sejak kelas 7 tidak pernah membantu ibu masak padahal dia satu-satunya putri di rumah ini. Dia selalu saja bermain di siang atau sore hari setelah pulang sekolah.

"Silakan diminum A." suguh Anggita menyerahkan cangkir teh untukku dan dua tentara di sofa sebelahku. Kedua tentara berpangkat Prada itu tersenyum manis. Salah satu di antara mereka matanya tak henti-hentinya menatap adikku. Aku tertawa dalam hati. Baru menyeruput sedikit tehnya, Prada Andri menyeletuk. "Tehnya tidak terlalu manis."

Anggita tertegun. Pikirnya takaran itu cocok untuk siapa pun. Tapi mendengar penuturan itu membuat dia menangkap bahwa Prada Andri kurang suka dengan tehnya karena dia suka yang manis-manis. Anggita tiba-tiba beranjak dari posisinya, dia hampir saja pergi lagi ke dapur sebelum aku mencegahnya. "Ndak apa-apa, De.
Biarkan dia meninggalkan kebiasaannya meminum minuman yang terlalu manis."

Prada Andri menghiraukannya. Dia kentara sekali terus mengamati adikku. "Karena manisnya yang lain ada pada senyummu,
Dek." lanjut Prada Andri terlalu berani.

Kami bertiga dan ibuku tertawa bersamaan. "Apa, Ndri? Kau naksir dengan adik saya?" terkaku telak. Prada Andri menyengir lebar.

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang