L I M E R E N C E [ 1 8 ]

151 10 0
                                    

"Bagaimana bisa seseorang merasa naik derajatnya setelah temannya mempunyai hubungan spesial dengan orang hebat."
~Adhyastha Adelio Cetta

Cukup empat jam jarak sejauh seratus empat puluh kilo meter telah ditempuh. Empat ratus personel TNI AD dari berbeda kesatuan membantu evakuasi gempa di daerah terdampak di Bandung. Mereka
langsung turun tangan membantu korban memulihkan trauma dan mencari yang hilang. Seperti Komandan Peleton 1 yang tengah dilanda cinta, Letda Inf. Adhyastha Adelio Cetta. Dia bersama kedua anak buahnya, Pratu Dimas dan Prada Andri. Mereka berjalan bersama mengelilingi lokasi. Bangunan tiap bangunan mereka
datangi untuk mencari korban yang sampai saat ini belum ditemukan.

Ketika langkah kaki Letda Adhy memasuki bangunan bertingkat yang habis setengah, dia mendengar suara isak tangis seseorang. Langkah kakinya semakin tergesa mencari keberadaan orang tersebut. Letda Adhy menyusuri tiap ruangan yang runtuh ini, dia semakin masuk ke dalam, semakin jelas pula suara tangis tersebut. Kaki Letda Adhy memasuki ruangan kecil di bawah tangga yang hampir roboh total, seorang anak perempuan cilik duduk dengan
lutut tertekuk.

Letda Adhy menunduk masuk ke dalam. Ruangan berukuran 3×3 meter ini terasa gelap. Dia mengulurkan tangan kanannya
dengan jarak lima puluh sentimeter dari posisi anak tersebut duduk. "Pegang tangan Kakak, Dek." bisik Letda Adhy.

"Danton!" teriak Prada Andri. "Siap! Di mana? Ini rumah kosong! Kita ke tempat lain." ujarnya memberi tahu sembari menyapu pandang ke atas. Ngeri rasanya bila bangunan itu menimpanya. Letda
Adhy berdecak kesal. Kosong bagaimana? Jelas-jelas di depannya ada anak kecil terperangkap di ruangan ini. Suara langkah kaki membuat Letda Adhy paham. Itu pasti Pratu Dimas dan Prada Andri. "Siap! Izin!
Untuk apa masuk ke situ, Danton? Di atas bahaya itu reruntuhannya semakin berat. Saya tadi sudah mencoba masuk ke situ tidak ada siapa pun di sana, Ndan." lapor Prada Andri yakin sekali.

Letda Adhy mendengkus keras. Dia semakin naik pitam. Ingin menyembulkan kepala keluar menatapnya beringas tapi ruangannya terlalu sempit dan dia diharuskan berbalik badan. Dia tak ada waktu untuk itu. "Kalian berdua pergi saja!" perintahnya tegas.

Pratu Dimas dan Prada Andri terkesiap. Mereka serempak memberi hormat. "Siap! Izin, Ndan!"

Setelah tak mendengar lagi suara langkah kaki mereka, Letda Adhy kembali berbisik kepada anak kecil di depannya. Rupanya dia telah menengadah. Letda Adhy semakin dibuat bingung. Anak ini lagi. Entah ada berapa kembar hingga anak perempuan yang selalu dia temui semuanya berwajah sama. Dia menghiraukannya. Keselamatan anak ini adalah yang terpenting untuk sekarang. "Ayo, pegang tangan Kakak." tutur Letda Adhy lembut.

Belum sempat tangan kecilnya meraih uluran tangan Letda Adhy, sebuah getaran di saku seragamnya membuat perhatiannya teralihkan. Berkali-kali dan Letda Adhy cukup terganggu. Dia merasa
gerah, lantas merogoh saku seragamnya. Tertera nama 'De Anggita' di layar ponselnya. Dia mendadak telepon begini pasti ada sesuatu yang penting. Letda Adhy menerima panggilannya.

"Assalamu'alaikum, A." sapa salam yang di sana penuh semangat.

Letda Adhy tersenyum sekilas. "Wa'alaikumus-salam, Dede."

"A, Dede ingin mengatakan sesuatu!" ujarnya terdengar antusias sekali.

Adhy berkali-kali menatap anak kecil di depannya dengan bangunan di atasnya bergantian. "Apa tuh?"

Anggita memekik kencang di sebelah ibunya yang tersenyum semringah. "Dede lulus SMP, A! Dede dapat peringkat pertama!" ujarnya dengan mata berbinar. Letda Adhy tersenyum simpul. Dia tidak fokus karena bangunan di atasnya terus menjatuhkan abu yang beterbangan membuatnya tak kuasa untuk bersin. Dia semakin dibuat panik. "Aa? Kok diam saja?” tanya adiknya di seberang telepon.

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang