L I M E R E N C E [ 5 ]

325 24 5
                                    

"Ternyata skenario Tuhan terbukti lebih indah. Setidaknya dialah anakku kelak. Begitulah rupanya."
~Adhyastha Adelio Cetta

Malam telah tiba. Satuan Tugas kesatuan dari Semarang telah sampai di perbatasan Indonesia-PNG.

Kapten bilang, di sini susah sinyal. Kita harus pergi ke kota untuk melakukan panggilan. Dan itu sangat menyiksaku. Aku tidak bisa mengabari keluargaku yang ada di Bandung. Tapi itu bukanlah hal yang mengejutkan, sebab aku sudah sering menjalaninya.

Kami para prajurit sudah menyiapkan banyak buku bacaan sebelum berangkat ke sini. Hal itu dijelaskan oleh Komandan Letkol Inf. Ajie Gerald Siragih di Yonif beberapa hari lalu. Beliau menegaskan bahwa anak-anak perbatasan pasti membutuhkan banyak buku demi kelancaran pendidikannya. Mungkin sedikit dari mereka yang bersekolah. Setidaknya nanti para prajurit di sana bisa mengumpulkan anak-anak untuk sekolah sementara bagi mereka yang belum bisa sekolah di pos kami.

Misi jaga perbatasan ini berlangsung selama tujuh bulan di dua kabupaten, di mana ada tujuh pos di wilayah itu. Tugas pokok kami menciptakan pengamanan di perbatasan, mencegah peredaran narkoba, serta menumbuhkan jiwa nasionalisme di kalangan masyarakat perbatasan. Kami selaku prajurit tentu merasakan bangga akan misi ini. Selain menumbuhkan jiwa nasionalisme tinggi, kami juga bisa tahu kehidupan mereka.

"Siap! Izin, Danton!" lapor seorang prajurit.

Aku menoleh ke belakang, lalu membalas hormat. "Ada apa?"

Prajurit bernama Prada Ian tersenyum sekilas. "Siap! Lapor, Danki memanggil Danton untuk segera menemuinya di pos B!" ungkap Prada Ian menyampaikan.

Aku mengangguk. Dia lantas berlalu pergi setelah memberi hormat. Aku mengangguk saja sembari berjalan menghampiri posko. Benar, ada Kapten di sana. Entah dia sedang apa sendirian. "Siap! Malam, Danki!" hormatku tak begitu lantang. Takut ada yang terganggu.

Kapten Rio membalas hormat. "Kemari, duduk di sini." Dia menepuk kursi di sebelahnya. Aku menurutinya, duduk di sebelah Kapten “Sepurane yo," celetuk Kapten setelah hening cukup lama.
(Sepurane yo = Minta maaf ya)

Aku menoleh ke arahnya dengan dahi mengerut. "Siap! Izin! Maaf untuk apa Bang?"

Kapten Rio menghela napas berat. "Soal nyuruh kamu lari keliling Sumurboto. Padahal kamu menang. Maafin Abang," ujar Kapten Rio, tulus.

Aku terkekeh pelan. "Kukira apaan Bang. Ya Allah, gak apa-apa. Gak masalah kok Bang. Lagian udah biasa juga lari-larian."

Gak apa-apa, Bang. Beruntungnya saya justru bertemu ketiga kalinya dengan Deva, batinku mengucap syukur.

Padal aku ndelok dewe kon ketemu Deva. Udelmu mesti jepalikan, suh! Batin Kapten Rio seakan membalas isi hatiku.
(Padahal saya lihat sendiri kamu bertemu Deeva. Pusarmu pasti salto)

Kapten tersenyum lebar. "Katanya sudah ada sinyal," celetuknya mengalihkan pembicaraan.

Mataku tampak berbinar. "Sungguh?" tanyaku tak yakin. Kapten mengangguk mantap. Segera kurogoh saku seragamku. Beberapa jam lalu memang sudah dikembalikan setelah kami sampai. Tapi tak ada sinyal waktu itu. Jadi kami menunggu saja. Begitu kunyalakan data selulerku, banyak notifikasi masuk. Termasuk dari dik Anggita. "Abang gak buka ponsel?" tanyaku kala melirik Kapten masih dengan posisinya, yakni melamun.

"Ah?" Tersadar dari lamunannya. "Nanti saja." Aku manggut-manggut saja. Kakiku melangkah menjauhi Kapten. Mencari tempat yang sepi untuk menelepon seseorang.

Berdering.

Berdering.

Kali ketiga, akhirnya diangkat juga oleh sang penerima panggilan.

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang