L I M E R E N C E [ 1 4 ]

208 12 1
                                    

"Jika tumbuhan mampu berbuah manis dan pahit, kenapa kau tak pilih
tak menanam pohon itu saja? Biarkan tanah lapangmu kosong namun
tampak asri."
~Adhyastha Adelio Cetta

Filosofi Letda Adhy yang postingan instagramnya cuma diisi hasil jepretan dia sendiri tanpa caption. Ya, semua yang dia umbar hanya bernilai estetik saja. Boro-boro pacarnya, fotonya sendiri sama keluarganya saja enggak ada. Foto profil? Dia pajang foto belakang dan jaraknya amat jauh hingga muka dia saja tak terlihat.

Inginku berkata kasar.

Perlu berpikir keras untuk mengetahui makna terselubung di balik filosofi itu. Adakah yang tahu?

"Filosofi Adhy itu mah." cibir Kapten Rio langsung paham.

"BIASAA!" decih Serda Lilo, tahu betul.

Aku terkekeh pelan. "Syirik aja kamu, suh!"

"Boro-boro feed ig, ig story aja ngepos kata-kata doang! Dipikir penyair apa?!" Cengiranku membuat Serda Lilo malas. "Ya terus A Adhy mau tebar pesona lewat apa? Whatsapp? Iyaa sih, kontaknya kayak asrama putri. Tapi nggak ada yang chat ya, percuma A."

Kapten Rio tertawa pelan. Dia baru ingat sekarang. "Jangan salah, suh! Deva sering chat dia."

Serda Lilo tertawa terbahak-bahak. "Iyalah, pawangnya!"

Kapten Rio dan Serda Lilo tertawa bersama. Aku mendengkus kecil. Kecengin terusss!

"Jiahh, Aa! Anjeunna ngan ukur alit, tingali milik kuring ... seueur kontak budak awewe, tapi anu kuring bales gancang anjeunna nu ditaksir kuring."
(Dia doang mah kecil, nih lihat punyaku ... kontak cewek banyak, tapi yang saya balas cepet ya dia doang gebetan saya)

Aku menoyor kepalanya. "Emang dasarnya fuckboy mau mengelak gimana pun tetap fuckboy, suh!"

Serda Lilo memegangi perutnya. "Dah ah, perut keram ketawa mulu." Aku manggut-manggut saja. Kan baik di pihakku kalau mereka berhenti tertawa seperti itu.

Aku tersenyum. Senang rasanya
bisa sehangat ini lagi dengan Serda Lilo. Entah kenapa aku bisa merasakan itu setelah beberapa hari hati terasa dingin.

Serda Lilo adalah adik letingku yang suka ceplas-ceplos. Dia sekalipun fuckboy, tak ada yang punya wajah segagah dia. Bukan
sekadar gagah, dia juga penyayang. Dia lebih memilih pasangan yang jauh berada di bawah umurnya. Mungkin itu prinsipnya. Sama sepertiku yang menginginkan pasangannya di bawah umurku. Mungkin berbeda 4-5 tahunan. Tapi yang kudapat lebih jauh dari itu. Bukannya apa, aku memang lebih suka sama yang masih unyu
mukanya, masih terlihat seperti anak kecil. Walaupun serasa kakak beradik, tapi aku nyaman dengan ini. Tak apa terpaut jauh soal umur, asal aku mengarahkan dia untuk lebih dewasa, hubungan akan layak disebut sebagai rumah tangga harmonis kelak.

Aku terhitung baru sekali berpacaran, namun itu sungguh amat lama. Dulu sewaktu SMA, aku berpacaran dengan sahabatku sendiri. Dia adalah seseorang yang punya pemikiran dewasa karena umurnya yang memang lebih tua dariku satu tahun. Sejak kelas 10, kami menjalin hubungan hingga di tahun terakhir pendidikanku di Akmil, dia memutuskan untuk berhenti. Sudah selama itu, rasanya
mustahil move on. Aku berusaha cari yang baru ke sana kemari hingga yang kudapati hanyalah 'asrama putri'. Mereka adalah korban kebiasaan modusku. Mungkin itu lebih baik, daripada aku melampiaskan perasaanku terlalu cepat. Mungkin kontak ponselku kebanyakan cewek, tapi aku bukanlah fuckboy kelas Serda Lilo.

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang