"Junn, aku pulangg. Aku membawa-" Kalimatku terhenti saat mataku mendapatkan pemandangan yang menjijikan di hadapanku."JUN! APA YANG KAU.."
"S-sayang?? Kau sudah pulang?? Kok sudah pulang? Bukannya kau pulang lusa??" Tanya Jun panik setelah melepaskan bibirnya dari bibir Yina dan mendorong Yina menjauh darinya.
Aku bahkan tidak bisa berkata-kata saat ini. Menggerakkan tubuh pun rasanya tak kuasa. Ya, aku mematung. Dadaku benar-benar sakit. Seperti inikah rasanya ditusuk dengan seribu pedang? Tidak, bahkan lebih banyak dari itu. Kakiku melemas dan akhirnya tubuhku ambruk, membuatku bersimpuh di atas keramik dingin itu.
"T-teganya kau.." Ujarku lemas sambil mengepal tanganku.
"Aku bisa jelaskan-"
"Apa lagi yang bisa dijelaskan kalau aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri???" Tanyaku lantang. Aku melirik ke arah Yina yang langsung ditarik ke luar dengan kasar oleh Seungkwan.
"M-maafkan aku. Sayang, maafkan aku." Ujar Jun yang kemudian ikut bersimpuh di hadapanku. Aku hanya tersenyum masam mendengar permintaan maafnya itu. Air mataku yang tak kuasa lagi kutahan pun bercucuran membasahi pipiku.
"Aku kira kau mencintaiku, Jun." Isakku.
"Aku memang mencintaimu, sayang. Aku sangat mencintaimu, maafkan aku." Tangannya terulur untuk menghapus air mataku namun aku langsung menepisnya.
"LALU APA ITU?? ITUKAH CARAMU MENCINTAIKU!? Aku malu, Jun. Aku malu. Aku malu telah mempercayaimu, membelamu terus menerus ketika semua orang berusaha untuk memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi." Ujarku. Jun hanya terdiam.
"Kau tidak kasihan padaku? Hah!? Lalu bagaimana dengan anak kita?? KAU TIDAK KASIHAN PADA ANAK KITA!? Kau sangat menjijikkan, Wen Junhui!"
PLAKK
Aku menamparnya keras. Sangat keras sampai dirinya tersungkur dari simpuhannya.
"Akhh!" Ringisnya kesakitan. Setelah itu ia langsung menatapku. Namun kali ini tatapannya berbeda. Ia terlihat marah.
"Kau tau?? Ini semua tidak akan terjadi kalau kau tidak mencintai pekerjaanmu lebih dari keluargamu." Ucapnya.
"Aku samasekali tidak pernah dan tidak akan pernah memilih apapun lebih dari keluargaku, Jun."
"Begitukah? Kau selalu saja sibuk, tidak punya waktu untukku. Dan siapa yang menggantikan peran yang semestinya sudah menjadi kewajibanmu saat kau tidak ada? Ya, perempuan itu. Bahkan aku mulai berpikir bahwa dia lebih mengerti diriku sekarang daripada kau. Akhir-akhir ini dialah yang selalu memperhatikanku, dia tau apa yang kusuka. Lalu dimana kau? Bermalam kesana kesini. Aku bahkan tidak tau apa yang harus kau kerjakan sampai harus bermalam seperti itu. Oh! Atau jangan-jangan kau juga bermain di belakangku?"
"Brengsek!"
PLAKK
Satu tamparan kuat kudaratkan untuk yang ke dua kalinya di pipinya.
"Cukup!! Aku sudah muak denganmu." Bentaknya.
"Lebih baik aku pergi dari sini." Lanjutnya kemudian meninggalkanku.
Dadaku terasa semakin sakit. Tangisanku semakin menjadi-jadi hingga aku merasakan sebuah pelukan dari belakangku. Orang itu tidak mengatakan sepatah kata pun, melainkan terus mengusap-usap pundakku, mencoba menenangkanku. Ialah satu-satunya orang yang aku punya saat ini, Seungkwan.
Setelah beberapa saat tiba-tiba saja napasku terasa sesak. Kepalaku rasanya seperti sedang diputar terus menerus. Dan akhirnya semuanya pun menjadi gelap.
***
Aku membuka mataku dan mendapatkan diriku sudah berada di kamar, sendirian. Dengan lemas, aku menghampiri window seat yang berada di kamarku dan duduk disitu. Aku menatap kosong ke luar jendela.
Aku kehilangan segalanya. Papa, mama, dan sekarang aku kehilangan suamiku. Pria yang kukira akan menua bersamaku, bahkan sampai hari dimana aku akan menghembuskan napas terakhirku. Itu yang kukira.
"Selamat pagi, noona. Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku membuatkan bubur untukmu." Ujar seseorang yang kuyakini adalah Seungkwan. Dan benar saja, ia menghampiriku dengan nampan berisi makanan di tangannya. Setidaknya itu yang kulihat dari sudut mataku yang masih menatap kosong ke luar jendela.
"Noona?" Panggilnya. Namun aku tidak memberikan respon apapun.
"Noona, makan yuk!" Ucap Seungkwan lagi, yang kali ini menyendokkan bubur yang dibawakannya ke arah mulutku. Namun aku masih terpaku, tidak menunjukkan pergerakkan samasekali.
"Noona, aku mohon, kau harus makan." Ujarnya lagi. Kali ini aku menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis.
"Untuk apa, Seungkwan-ah? Bukankah lebih baik aku lenyap dari bumi ini?" Tanyaku.
"Noona, jangan seperti itu. Kemarin dokter memeriksamu dan mengatakan bahwa kau syok berat hingga tidak sadarkan diri. Dan jika kau masih akan terus membebani pikiranmu, resikonya akan terjadi sesuatu yang berbahaya pada anakmu." Ujarnya.
"Aku telah kelihangan semuanya, Seungkwan-ah. Aku tidak punya harapan lagi."
"Kau masih memilikiku, noona. Dan bagaimana dengan anakmu? Kau masih memilikinya, dan Jika kau terus seperti ini maka kau bisa kehilangan satu orang lagi dalam hidupmu. Anakmu tidak bersalah, jagalah dia noona. Setidaknya biarkanlah dia lahir ke dunia ini. Kumohon, jangan biarkan sesuatu terjadi padanya hanya karena kesalahan orangtuanya." Jelasnya. Tak terasa air mataku mulai mengalir. Perkataan Seungkwan benar, namun tidak akan semudah itu menghilangkan rasa sakit yang begitu mendalam ini.
"Shhh, sudah, ayo makan ya?" Ujar Seungkwan sambil kembali mengangkat sesendok bubur ke depan mulutku. Kali ini aku tidak menolaknya, aku membuka mulutku dan membiarkannya menyuapiku. Bubur itu terasa hambar, bukan karena tidak enak, hanya saja karena dimakan di waktu yang tidak tepat. Namun ini semua demi anakku.
"Yeay! Habis buburnya. Noona pintar! Hahaha. Sekarang minum dulu." Ujarnya sambil menyodorkan segelas air setelah aku melahap suapan terakhirnya. Aku pun meneguk air itu.
"Aku tau. Aku tau ini berat untukmu, noona. Dan.." Seungkwan menggantungkan kalimatnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Dan melihatmu sakit juga menyakitiku, noona. Ya, aku pun sama. Aku pun marah, kecewa, sedih, kesal dan semua itu. Kalau saja pria itu tidak langsung pergi semalam, mungkin sudah kuhabisi dia. Namun untuk apa? Itu hanya akan memperburuk situasi. Aku hanya memikirkan perasaanmu, noona. Mulai sekarang aku akan selalu ada untukmu. Jangan ragu untuk mengeluh dan mengeluarkan kemarahanmu padaku. Selama itu membuatmu merasa lebih baik." Ujarnya panjang sambil terisak di sela-sela kalimatnya. Lagi-lagi aku kembali menangis. Aku pun memeluknya erat.
"T-terimakasih, Seungkwan-ah.. K-kau memang adikku yang terbaik." Isakku.
"Tidak masalah, noona." Balasnya sambil mengelus punggungku.
"Aku akan membiarkanmu sendiri dulu. Kau mungkin butuh waktu untuk memproses semuanya, tapi jangan terlalu dijadikan beban. Aku tau noona wanita yang kuat." Ujarnya setelah melepaskan pelukannya. Aku mengangguk sebagai balasan. Ia pun keluar meninggalkanku.
Aku kembali menatap ke luar jendela. Seketika sepintas ingatan mengenai kenangan-kenanganku bersama Jun melintasi pikiranku dan membuatku kembali menangis. Kau bisa mengatakan aku perempuan yang lemah dan cengeng. Tapi apa yang kuhadapi saat ini bukanlah sesuatu yang mudah.
Aku tertawa kecil saat kenangan itu kembali melintasi pikiranku. Lucunya bagaimana seseorang yang dikenal sangat manis dan penuh kasih sayang nyatanya bisa menjadi sangat kejam. Ia membawaku ke langit yang tinggi kemudian menjatuhkanku layaknya sebuah meteor ke tanah yang keras.
Marah? Kecewa? Sakit hati? Tentu saja. Aku bisa saja menyakitinya tapi tidak kulakukan itu karena kalau begitu apa bedanya aku dengan dirinya? Biarlah waktu yang memperbaiki dan menyelesaikan semuanya.
tbc
![](https://img.wattpad.com/cover/203868485-288-k575149.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring 2.0 • Junhui ✔
Fanfiction"Namanya Wen Bomi" (kelanjutan dari cerita Spring , disarankan untuk membaca cerita pertama terlebih dahulu)