36

484 74 17
                                    

Sudah satu minggu lebih sejak kejadian tersebut dan Jun belum juga kembali. Orang-orang yang mengetahui hal tersebut biasanya akan mengatakan "Kau hebat ya. Masih bisa tersenyum" saat melihatku. Setidaknya itu yang orang lain lihat. Aku akan membiarkan mereka berpikir seperti itu sementara sebenarnya aku selalu menangis di malam hari.

Bohong kalau aku bilang aku tidak merindukan sosok pria yang biasanya selalu menyambutku di pagi hari saat aku terbangun. Namun aku juga tidak bisa bohong kalau aku begitu membencinya sampai-sampai mendengar namanya saja membuatku jijik.

Namun terkadang aku juga menyalahkan diriku sendiri. Terkadang aku berpikir bahwa ini semua terjadi karena diriku yang belum bisa menjadi pasangan yang baik untuknya. Beberapa kali aku merutuki diriku sendiri karena hal tersebut.

Aku tidak ingin berpikir bahwa aku telah menikahi pria yang salah. Bagaimanapun juga pria itu pernah membuatku bahagia. Kalau cinta itu adalah sebuah perahu, maka pria itulah yang sudah menemaniku mendayung perahuku selama ini. Meski di tengah perjalanan perahu itu harus kehilangan keseimbangannya.

***

"Yang namanya manusia tidak akan luput dari kesalahan, Chan. Sesempurna apapun manusia itu, siapa saja bisa khilaf dan melakukan kesalahan, bahkan diluar kehendak orang itu sendiri." Ujarku pada Chan yang mengunjungiku tadi pagi untuk meminta maaf atas perbuatan kakaknya sekaligus memberitahuku bahwa Jun tinggal di apartemen Chan sejak dia pergi dari rumah. Sebenarnya Jun tidak memperbolehkan Chan untuk mengatakan kepada siapapun tentang keberadaannya, namun Chan merasa tidak enak padaku dan memutuskan untuk memberitahuku.

"Noona.. memaafkannya?" Tanyanya. Aku menghela napasku.

"Memaafkan itu bukan hal yang mudah, Chan. Tapi aku pasti akan memaafkanya asal dia tidak melakukan kesalahan yang sama dan mencoba untuk memperbaiki dirinya. Namun untuk bisa menerimanya kembali seperti biasa mungkin akan sulit dan membutuhkan waktu."

"Kau benar-benar mulia, noona. Aku merasa sangat malu dan bersalah atas perbuatan hyung."

"Tidak perlu, Chan. Ini bukan salahmu." Ucapku.

"Lalu hyung bagaimana, noona? Apa kau akan tetap membiarkannya tinggal di apartemenku?" Tanyanya.

"Sebaiknya dia kembali secepatnya. Kemungkinan sebentar lagi aku akan melahirkan. Bagaimanapun dia adalah ayahnya, dan dia masih keluargaku." Balasku. Chan pun menganguk tanda mengerti.

"Baiklah, noona. Akan kucoba membujuknya untuk kembali. Karena sebenarnya dia tidak mau berbicara dengan siapapun sejak beberapa hari yang lalu." Ujarnya.

"Baiklah."

"Semangat, noona! Sedekat-dekat nya aku dengan hyung, kalau dia salah aku tidak akan membenarkannya. Aku denganmu, noona." Ucapnya.

"Terimakasih Chan." Balasku sambil tersenyum.

"Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu ya, noona. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa."

Chan pun beranjak dan meninggalkan rumahku.

***

Malam pun tiba, dan disinilah aku sendirian. Di dalam kamar yang biasanya selalu diisi dengan kasih sayang dan canda tawa. Namun kini hanya sunyi dan sepi yang menyelimuti.

Di siang hari biasanya ada banyak hal yang dapat mengalihkan pikiranku dari masalah yang baru saja menimpaku itu. Namun di malam hari aku hanya akan merasa kesepian, takut, sedih, dan marah. Dan malam ini perasaan itu timbul lagi.

Dadaku terasa sakit, mengingat semua kenanganku bersama Jun. Mengingat bagaimana aku bisa mengenalnya untuk pertama kali, mengingat hari pernikahan kami, dan segala hal yang pernah kami lalui bersama. Aku tidak menyangka akhirnya semua itu harus rusak hanya karena keberadaan orang ketiga dalam hubungan kami.

"Jun.. Aku ingat hari dimana kau memintaku untuk menjadi temanmu. Kau bilang kau ingin berubah menjadi lebih baik, dan sejak itu aku pun membantumu. Hingga akhirnya kau mendapatkan nilai 90 untuk pertama kalinya pada ulangan matematika. Setelah itu kau memberiku cokelat sebagai hadiah... Aku bahkan masih menyimpan bungkusannya hingga sekarang. Dulu juga kau pernah bilang kau tidak akan pernah mencintai wanita lain selain diriku. Namun kurasa itu hanya omong kosong sekarang."  Ujarku seolah Jun ada di hadapanku saat ini. Tangisku pun pecah.

Kalau saja aku tidak mengandung saat ini mungkin keadaanku sudah lebih buruk dari ini. Namun selama ini aku berusaha kuat untuk bertahan demi kesehatan anakku.

"TEGANYA KAU, WEN JUNHUI!" Teriakanku memenuhi seisi kamar.

"Andai saja.. andai saja kau tidak pernah melakukan itu mungkin kita akan baik-baik saja sekarang. Tapi kenapa? Kenapa kau begitu egois?? Kenapa kau tidak bisa menahan hasratmu demi melindungi keluarga yang sudah kita bangun selama ini??" Tangisku semakin menjadi-jadi.

"Aku mencintaimu, Wen Junhui. Bahkan setelah kau menyakitiku seperti ini." Lirihku. Tentu, aku marah. Aku benar-benar marah dan kecewa. Namun aku kembali mengingat perkataan Seokmin beberapa waktu lalu. Bahwa perasaan tidak hilang begitu saja. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku sudah jatuh terlalu dalam kepadanya. Aku ingin kembali merasakan pelukannya yang selalu membuatku tenang dikala aku sedang bersedih seperti ini. Namun aku bahkan tidak tahu apa itu akan pernah terjadi lagi atau tidak.

Pikiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya begitu menakutiku. Apa setelah ini kami akan bercerai? Ataukah kami akan tetap berkeluarga dan menjalani hidup seperti semula seolah-olah semua itu tidak pernah terjadi? Ketidakpastian itulah yang membuatku takut.

tbc

Spring 2.0 • Junhui ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang