Asa

211 32 29
                                    

Hujan entah kenapa bisa turun begitu deras walau bumi tak menginginkannya.
Begitu gigih dia menyirami tanam-tamanan yang telah menguning tampa disuruh.
Hujan yang menyejukan membekukan hati yang memang sudah dingin tak tersentuh
Meluluh lantakan hati yang rapuh karna tergerus waktu yang bergulir tampa perasaan
Hampir menghancurkan impian jika tidak kulihat segaris pelangi yang ternyata hadir setelah hujan. Pelangi...yang menuai asa dihati yang hampir mati ini
Akankah ada harapan untuk meraih hari esok?

............

Entah apa yang harusnya bisa dilakukan lagi tak pernah terpikirkan. Otak rasanya telah mati rasa karna semua usaha yang telah dilakukan tak akan membuahkan hasil apapun jika memang mereka terus berkeras seperti ini. Taiga menghela nafasnya lelah. Menatap wajah-wajah lelah dan kuatir dihadapannya. Wajah yang sama lelahnya dengan dirinya.

"Kalau seperti itu yang kalian inginkan, sudahlah! Percuma berusaha lagi. Sudah tidak ada gunanya juga bukan? Kalian sebenarnya dari awal memang tak pernah berniat untuk menolongnya." kata Taiga pelan.

"Taiga-san, jangan mendikte mereka dulu. Kau tau betapa beratnya menjadi orangtua yang dihadapkan dua pilihan yang sulit. Salah bertindak maka kita akan kehilangan keduanya." Kiriya mencoba meredakan sedikit kemarahan sahabat sekaligus teman sepropesinya ini.

"Aku harus bagaimana, Kiriya-san! Ini sudah terlalu lama dan kita tak bisa menunggu lagi. Jika aku bisa aku pasti sudah mengorbankan diriku untuknya. Tapi aku tidak bisa..." Mata Taiga merebak airmata tampa sadar mengalir membasahi pipinya membuat orang-orang yang ada disitu terdiam.

"Gomenne Taiga-san! Appa tak bermaksud membuatmu dalam kondisi sulit. Kita semua sama. Emu dan Parad mereka itu bagaikan buah simalakama dimataku. Aku tak pernah berpikir akan sesulit ini akhirnya." Gai mendesah.

"Apa tidak ada jalan untuk itu? Setidaknya lakukan sesuatu apapun itu agar anakku bisa bertahan. Kalian ini para dokter tentu bisa menangani hal demikian bukan? Hiks..." Shansan terisak, ia sudah tak bisa menahan emosinya lagi. Kuroto cepat memeluk istrinya itu.

Butterfly paper (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang