Part 11 || sadar

41 4 1
                                    

"saudara adalah seseorang yang kau temui dengan banyak persamaan dengan dirimu, namun tetap menghargai segala perbedaan yang ada dan menerima setiap kekurangan yang kita punya."

-old promise-

Setelah dari ruang perawatan bayi, Fahmi segera menuju ruangan adiknya di rawat, untungnya saja Rara berada di rumah sakit yang sama dengan perempuan tadi, jadi Fahmi tak perlu lagi berkendara untuk menuju rumah sakit lainnya.

Oh ya untuk wanita paruh baya tadi Fahmi telah mengantarkan pulang saat selesai pemakaman.

Fahmi berjalan menyusuri setiap koridor rumah sakit, banyak suster yang menandang Fahmi kagum dan ada yang memandangnya dengan binar ketertarikan, bagaimana semua orang tak meliriknya, Fahmi memiliki wajah tampan seperti seorang pangeran, hidung mancung, alis tebal, mata belok, dan bibir tebal membuat ia terlihat sexy, ia memang memiliki keturunan dari abinya bahkan semua anak Bagaskara menurun darinya hanya mata saja yang mengikuti istrinya.

Sungguh benar benar indah ciptaanmu ya Allah.

Setibanya di depan ruangan adiknya, Fahmi tampak ragu untuk masuk, karena semua penyebab adiknya seperti ini adalah dirinya, Fahmi tetap saja merasa bersalah sampai saat ini padahal semua juga bukan salahnya.

Cklek

"Assalamualaikum warahmatullahi Hiwabarakatuh." Fahmi membuka pintu ruang rawat Rara, pandangan Fahmi terjatuh pada sosok perempuan muda yang tengah berbaring lemah di atas brankar, di sampingnya ada sosok laki laki yang tengah menggenggam tangan sang perempuan dan sesekali menciumnya, sakit! Itulah yang di rasakan oleh Fahmi, kenapa tiba tiba hatinya menjadi tidak terima jika Amir yang berada di sisi Rara, sungguh Fahmi sungguh iri!

Astaghfirullah! Cepat cepat Fahmi menghilangkan pikiran negatifnya, mana mungkin ia iri dengan adiknya? Itu tidak boleh, bagaimana pun ini semua perbuatannya yang membuat ia jauh dari adik adiknya, iya ini semua salah nya!

"Waalaikumsallam warahmatullahi Hiwabarakatuh,'' jawab semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut tak terkecuali Amir.

Ruangan inap Rara sangat ramai karena kedatangan nenek, kakek dan tentunya sahabat Rara yang setia menunggu Rara siuman.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Amir sinis tanpa mengalihkan atensinya pada Rara yang tengah terbaring lemah, dan tangannya tetap menggenggam erat tangan Rara.

"Gue mau jenguk adik gue." sekarang Fahmi tidak peduli dengan sopan santun, yang dulu ia selalu menggunakan bahasa formal ketika di depan orang tua mereka tapi saat ini ia menggunakan bahasa gaul, persetan dengan sopan santun yang terpenting ia ingin melihat keadaan adiknya.

"Nggak perlu! Lo nggak usah repot repot jenguk adik gue."

"Kenapa? Gue berhak jenguk adek gue, karena Rara itu adek gue dan gue berhak menjenguknya."

"Gue bilang enggak ya enggak!" Amir menaikan suaranya beberapa oktaf, rahangnya mengeras, wajahnya memerah, ia menatap Fahmi dengan tatapan dengan penuh kebencian dan permusuhan.

"Sudah sudah, kalian ini saudara tidak sepantasnya kalian berantem. Apalagi ini rumah sakit." akhirnya Mira melerai pertikaian kedua anaknya dan yang lain hanya diam mendengarkan ke tiganya berbicara.

"Saudara? Cih! Mana ada saudara yang menecelakai saudaranya sendiri!" Sadar tidak sadar Amir menaikan suaranya ketika berbicara dengan uminya, sebelumnya ia tak pernah meninggikan suaranya.

"Amir! Jaga bicara kamu! Apa apaan kamu,  nada bicara kamu seperti itu dengan orang tua, abi tidak pernah mengajari kamu berbicara seperti itu!" Bagas yang geram dengan sifat anak keduanya itu akhirnya angkat bicara.

Nikah Dadakan [Mager Ngelanjutin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang