Keramain adalah cara ia lari dari masalah yang tengah ia hadapi saat ini. Dengan menyendiri di keramain membuat keadaannya jauh lebih baik. Untuk sekarang ia tak ingin di ganggu oleh siapapun, ia ingin sendiri menenangkan pikiran yang sempat menghantui pikirannya.
Ia menenggelamkan wajahnya pada kaki yang ia tekuk, ia tak peduli dengan orang orang di sekitar yang menatapnya aneh, yang ia pikirkan hanya ketenangan.
"Ce," lirihnya di sela isak tangis.
"Gue, nggak sanggup."
"Lo dimana ce, hiks....hiks."
"Gue butuh lo....hiks....hiks...hiks."
Ia mendongakan kepalanya, menatap langit hitam malam hari, mengahapus sisa air matanya. Ia tak boleh cengeng, ia tak boleh sedih, tapi nyatanya ia tak sekuat yang ia ucapkan pada dirinya sendiri, air matanya kembali luruh ketika mengingat perkataan abinya beberapa jam yang lalu.
Ia melihat perban di tangannya yang basah akibat tangisannya tadi, ia mengepalkan tangannya kuat kuat menyalurkan rasa yang memburuh di hatinya.
"Awh.... Shhh," rintihnya ketika ia merasakan luka di balik perbannya saat ini. Ia melepas perban yang membuatnya terganggu ini.
"Arghhh! Sakit ya Allah!" Jeritnya ketika ia merasakan sakit yang sangat sangat ia rasakan pada sela sela jarinya.
Ia melihat jarinya yang masih membekas kebiruan dan membengkak, ia mengusap perlahan luka di jari jarinya.
Kilatan kejadian waktu ia kecil dulu berputar seperti kaset di dalam otaknya, bentakan dan pukulan selalu mendominasi setiap kejadian yang terputar secara sendirinya. Ia meringkuk, menyembunyikan wajahnya pada tekukan kaki, dengan berbantalkan sebuah lengannya ia meredam tangisan yang kembali luruh dengan sendirinya.
Jari jarinya meremas kuat lengannya untuk menyalurkan kesedihan yang tengah ia rasakan, rasa sakit pada cengkraman lengannya tak membuat ia berhenti untuk menangis, rasa nyeri pada tulang tulang jari jemarinya tak seberapa sakitnya perasaan hatinya yang tengah ia rasakan. Entah kenapa saat mendengar ucapan yang terlontar dari mulut abinya tadi membuat semangat nya menjadi turun, nyeri yang ia rasakan pada jarinya tak sebanding nyeri yang menyerang hatinya, kenapa orang tuanya mengambil keputusan sepihak tanpa memperdulikan orang yang terlibatkan.
Sejak kejadian tadi siang. Dimana abi nya meminta ia menikah secara tiba tiba dengan orang yang baru saja ia kenal membuat diri nya jadi tak bersemangat untuk melakukan perlombaan ini.
Dimana tadi siang, abi nya menjabat tangan orang yang sekarang telah sah menjadi suaminya itu. Dengan mantap dan dengan satu tarikan nafas laki-laki itu mengucapkan ijab qobul tanpa rasa gugup sedikit pun.
Menolaknya pun tak ada gunanya karena keputusan abinya adalah keputusan yang mutlak tidak boleh di ganggu gugat. Ia hanya bisa pasrah dan diam menyembunyikan rasa kekecewaan pada abinya.
Ia mendongakan kepalanya, menatap dengan kosong keramaian yang berada di depannya. Orang orang tengah tertawa lepas menikmati malamnya dengan bermain bersama orang yang mereka cintai, entah kenapa ia ingin sekali melihat ke sebelah kirinya. Seolah pemandangan yang ada di sebelah kiri nya itu lebih menarik daripada di depan mata. Dengan terpaksa dan enggan ia menoleh ke kiri melihat apa yang ada di depannya.
Dua orang anak kecil berumur sekitar lima sampai enam tahun tengah bermain basket, satu perempuan dan satu laki-laki. Mereka tertawa lepas, saling merebut bola basket, hingga tiba tiba anak laki-laki itu terjatuh dan anak perempuannya tertawa lepas.
"Hahahahahaha... Rasakan!" Tawa anak perempuan itu.
"Kau ini bukannya menolongku malah tertawa, andai bola itu bisa melayang sendiri sudah ku pastikan bola itu akan mengenai kepalamu," gerutu anak laki-laki itu yang tak terima ia di tertawakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Dadakan [Mager Ngelanjutin]
Romansa[•••] Judul cerita sebelumnya: Old promise Ini kisah tentang Humaira gadis yang senantiasa sabar menunggu sahabat karib nya untuk menepati janji lama mereka untuk hidup bersama. Kisah tentang kehidupan keluarga yang sangat over posesif terhadap diri...