WITK? [14] Kacau

107 14 0
                                    

Happy reading!!

Tamparan keras mendarat telak di pipi kiri Glen. Cowok itu menggigit bibir bawahnya. Diam dan menunduk.

"Masih nggak mau bicara?!" bentak lelaki dengan setelan santai. Dia berkacak pinggang. Begitu geramnya dengan kelakuan sang putra.

"Udah, Mas. Jangan pukul Glen terus!" lerai Tia dengan air mata meleleh di pipinya.

"Nggak usah belain anak nggak tau diri ini. Di sekolah bikin ribut sampe dapet surat panggilan, apalagi hal yang dia lakuin ke kamu itu nggak bisa dimaafin."

Glen tetap bergeming di tempat. Tangannya mengepal geram. Ingin dia menyeret wanita yang sudah merebut posisi mamanya itu keluar, dia tidak sudi kalau harus selalu dibela oleh Tia.

Hadi menunjuk tepat pada dahi Glen. "Kalau kamu masih punya otak, harusnya kamu kasihan sama mama kamu. Dia nggak bakal bahagia kalau liat anaknya jadi berandalan kayak gini."

Glen mengangkat wajah. Melayangkan tatapan nyalang pada sang papa. Dia sudah benar-benar tidak tahan. "Memangnya mama seneng kalau Papa nikah lagi sama sahabatnya gitu?"

Plak!

Lagi-lagi sebuah tamparan mendarat di pipi cowok itu.

"Terus aja pukul, Pa! Glen nggak akan ngelawan kok."

"Dasar—" Tangan Hadi hanya melayang di udara. Pukulan itu dia urungkan. Napasnya berat untuk sekadar diembuskan.

"Gimanapun juga, Tante Tia nggak akan pernah bisa gantiin posisi mama. Ini semua gara-gara Papa. Kalau aja dulu Papa nggak—"

"GLEN!" Kali ini bukan tamparan. Namun, kepalan tangan Hadi langsung menumbuk perut sang putra hingga Glen terhuyung ke belakang. Nada bicara lelaki itu menurun. "Jangan pernah bahas hal itu lagi!"

Glen tersenyun miring. "Papa duluan yang ungkit-ungkit soal mama. Kalau mama masih ada, aku nggak akan jadi kayak gini. Kalau mama masih ada, Papa nggak akan pernah mukul Glen kayak gini!"

Emosi yang sejak tadi berusaha ditahan Hadi akhirnya benar-benar meluap. Tia hanya bisa memperhatikan dari belakang tanpa bisa melakukan apa pun.

"Terus! Terus aja sebut dia! Kalau ... kalau ... dia ada. Nyatanya mamamu udah nggak ada! Dia udah meninggal, Glen! Kalau kamu—"

"Papa," lirih seorang gadis kecil dengan piyama bermotif beruang. Dia berjalan gontai seraya mengucek mata.

Ucapan Hadi terhenti seketika. Dia menghampiri gadis itu. "Sayang, kok belum tidur?"

"Tadi Grisa udah bobo, terus kebangun gara-gara suara Papa yang kenceng banget," ucapnya seraya cemberut.

"Maaf, Sayang." Hadi mengangkat kelingkingnya. "Sekarang kamu tidur, Mama Tia bakal temenin kamu. Papa janji nggak akan berisik lagi."

Tia langsung menggendong Grisa dan membawanya ke kamar gadis kecil itu. Sedangkan Glen tidak bergerak dari sana. Dia paham kalau Hadi belum selesai dengan ucapannya.

"Kalau kamu muak. Sekalian aja pergi dari sini. Papa nggak mau ngekang kamu, karena papa sendiri udah gagal jadi ayah yang baik buat kamu, juga Grisa." Setelah perkatannya barusan, Hadi menepuk pundak Glen dan langsung melenggang pergi dari ruang keluarga.

Glen tertawa sejenak. "Pergi? Jadi Papa akhirnya ngusir gue? Hahaha ...."

Dia menyambar jaket hitamnya yang tersampir di sofa. Memakai dengan tergesa dan menyerobot kunci motor dari tempat gantungan. Lagi-lagi Glen kacau. Dia langsung menunggang kuda besi kesayangannya, tidak mengindahkan para pengguna jalan lain yang mencecarnya karena kebut-kebutan. Hanya satu tempat pelarian kali ini.

Who is the Killer?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang