WITK? [16] Tidak Apa

79 14 0
                                    

Happy reading!!

Sudah tiga jam lamanya tangis wanita dengan rambut hitam bergelombang itu tidak berhenti. Dia masih setia menggenggam tangan dingin milik Glen yang enggan untuk membuka mata. Tia amat menyayangi putra angkatnya itu, walaupun Glen sama sekali tidak menganggapnya.

Seorang lelaki dengan setelan jas biru tua berdiri di samping Tia dan melipat tangan di depan dada. Masih setia dengan ekspresi datarnya, dia berkata, "Mau sampai kapan kamu nangisnya?"

Tia mengangkat wajah, mengusap jejak-jejak air mata yang tersisa. Memperhatikan raut muka Hadi. Wanita itu tahu kalau dia adalah lelaki baik, ayah yang sangat menyayangi Glen, hanya saja dia tidak bisa mengekspresikan dirinya dengan benar. "Gimanapun juga Glen itu anakku. Ibu mana yang nggak sedih kalau anaknya dalam keadaan kayak gini."

Hadi mengusap wajahnya kasar. Suasana hening sejenak. Hanya suara dari kardiograf yang nyaring memenuhi ruangan. "Maaf," cicitnya.

"Aku tau kalau Glen masih susah buat nerima sosok mama baru, tapi aku bakal terus berusaha buat jadi mama yang dia pengenin. Karena ini pilihanku sendiri."

Lelaki itu hanya tersenyum tipis tanpa bisa mengatakan apa pun lagi.

∆ I See You ∆

Ketika Lizzy sampai di kantin rumah sakit dia mengedarkan pandangan, tempat itu hampir kosong. Dia sempat ragu kalau Ishana ada di sana. Namun, saat bayangan sedih di sudut tertangkap oleh maniknya, dia tahu pasti gadis itu. Dia berjalan mendekat dengan ragu. "Sha," panggilnya. "Glen nggak bakal kenapa-kenapa."

Dia menggeleng kuat. "Glen hampir meninggal. Dia ... dia kayak gitu gara-gara gue."

"Bukan, Sha! Harus berapa kali gue bilang kalau itu bukan salah lo. Itu kecelakaan," ungkap Lizzy. Gadis itu mendudukkan diri di depan Ishana. "Makanan lo dingin."

Ishana tidak memberikan respon. Mereka duduk membisu. Lizzy memijat pelipisnya, memperhatikan gadis yang tengah menunduk di hadapannya dan makanan dingin itu bergantian. Saat akhirnya tidak ada pilihan lain untuk menarik minat Ishana, dia mengambil piring berisi nasi goreng itu dan mulai melahapnya.

"Gue aja yang makan dari pada dibuang. Sayang."

Ishana menatap Lizzy. Air matanya kembali mengalir. Gadis itu kembali sesenggukan.

Lizzy menghentikan suapannya dan langsung menenggak air mineral hingga tinggal tersisa setengah. Dia mengusap bibirnya dengan punggung tangan. "Nanti gue ganti, kok."

Ishana masih tidak berhenti menitihkan air mata. Lizzy merasa dirinya benar-benar bodoh. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia hanya berpura-pura kuat agar Ishana tidak terlalu terpukul.

Keadaan Glen saat ini memang tidak bisa dikategorikan dalam situasi yang baik. Dokter mengatakan kalau cideranya sangat parah, hingga harapan hidup Glen begitu tipis. Jika dia masih bernapas hingga saat ini pun, itu merupakan suatu keajaiban. Lelaki itu tidak sadarkan sejak kemarin, tim medis menyatakan kalau dia koma, dan tidak tahu kapan akan sadar.

Mengingat bagaimana kondisi Glen saat ini, Lizzy sama sekali tidak bisa menghakimi Ishana dengan kesedihan mendalam yang gadis itu rasakan. Dia tahu kalau ada sebuah rasa tersembunyi yang menjerat mereka berdua.

"Sorry." Ishana mengusap air matanya. "Gue kayak anak kecil. Cuma bisa nangis."

"Bu—bukan gitu maksud gue, Sha. Gue nggak mau lo—"

Ishana tersenyum kecut. "Gue paham, Zy."

"Kayaknya dari kemarin lo belum pulang. Mau gue anter buat bebersih diri?"

Ishana mengangguk kecil. "Glen udah ditunggu sama Tante Tia. Emang gue bau banget, ya, sampe lo tahu kalau gue belum mandi?"

"Bukan gitu, Sha! Ih, kok jadi salah paham."

Gadis itu terkikik. "Iya, iya. Tolong deh anterin pulang. Gue belum ngasih kabar orang rumah, pasti pada nyariin."

Lizzy tersenyum tipis lalu mengangguk.

Kedua remaja itu berbincang santai selama perjalan ke rumah Ishana. Mereka berusaha saling melepaskan kesedihan atas kecelakaan yang menimpa Glen. Beberapa saat berlalu, rumah gadis manis itu sudah terpampang di depan sana.

"Mampir dulu, Zy," tawar Ishana pada Lizzy.

Gadis mengangguk. "Iya, lain kali gue mampir."

Setelah sama-sama mengucapkan perpisahan mobil Lizzy langsung melaju. Ishana memperhatikan kendaraan roda empat berwarna hitam itu hingga hilang pada tikungan pertama. Gadis itu menghela napas panjang dan tersenyum tipis.

Baru saja Ishana menginjak teras rumah, tapi pintu besar itu langsung terbuka lebar. Seorang lelaki dengan wajah merah padam menahan amarah berdiri di depan sana. Dia berkacak pinggang dan melemparkan tatapan tidak bersahabat.

"Dari mana?" tanyanya dingin.

Dengan tampang tanpa dosa Ishana menjawab, "Rumah sakit."

"Ha? Kenapa?" Lelaki berkumis tipis itu menjeda. "Lo sakit?"

"Glen kecelakaan."

"Lo nggak pa-pa?" Raut marah yang terpancar dari Erman langsung lenyap seketika digantikan dengan kekhawatiran yang teramat sangat. Dia berjalan mendekat pada Ishana.

Gadis itu menggeleng. "Gue nggak pa-pa, Bang. Glen yang kenapa-napa, dia kritis."

Erman yang paham dengan perasaan sang adik langsung mendekap Ishana dalam pelukannya. Dia mengusap punggung gadis itu. "Dia nggak bakal kenapa-napa."

Ishana hanya bisa mengangguk dan meyakinkan diri.

"Nanti gue juga ke sana buat jenguk. Mending lo sekarang mandi, terus makan."

"Mereka belum pulang?" cicit Ishana.

"Belum."

∆ I See You ∆

Huhuhu ... Ide lagi mampet, alur maksa lagi. Untuk selanjutnya akan diusahan lebih baik lagi. Jangan bosen-bosen baca, ya ;)

Kunjungi juga akun nadyanur290

Jangan lupa tinggalkan jejak
Vote 🌟 + Comment 💬

Jangan lupa juga follow akun Instagram @wrld_club_official dan @nadya_nurma

Kamis, 20 Agustus 2020

Salam sayank

Nadya_Nurma 😘

Who is the Killer?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang