WITK? [17] Sepucuk Peluang

73 13 0
                                    

Happy reading!!

Sepucuk surat berlumur darah bertuliskan ‘I See You’ bertengger manis di atas nakas kamar rawat Glen. Tia yang menemukannya langsung menangis kebingungan. Dia tidak menyangka ada orang yang tega melakukan hal mengerikan semacam ini. Mungkinkah itu musuh Glen?

Wanita yang tampak lesu itu paham bagaimana putra angkatnya. Remaja lelaki pembuat onar karena kurangnya kasih sayang dari keluarga, lebih tepatnya dia menjadi tertutup dan membuat masalah setelah kepergian ibunya.

Bertepatan dengan kejadian itu, tiga sahabat Glen datang berkunjung. Kevin langsung mengambil tindakan dan membersihkan hal mengerikan itu tanpa risih. Sedangkan Ishana dan Lizzy segera menenangkan Tia yang tampak kacau.

“Tante nggak pa-pa?” tanya Ishana seraya merangkul Tia dan membantunya duduk di sofa.

Wanita itu menggeleng. Pandangannya masih kosong. Tidak ada yang berkunjung selama dia menjaga Glen, hanya beberapa menit dia keluar untuk membeli makanan dan saat kembali kertas berlumur darah itu sudah ada di sana.

“Tante tahu siapa yang ngelakuin hal ini?” tanya Lizzy.

Lagi-lagi Tia menggeleng. Dia tidak mempunyai dugaan sama sekali.

Setelah Kevin selesai membereskan semuanya. Dia menarik kursi kecil di sudut ruangan dan bergabung dengan ketiga wanita itu. “Udah Kevin bersihin, Tante jangan khawatir. Anggap aja nggak ada apa-apa, takutnya malah kepikiran.”

“Makasih, Vin,” ucap Tia lirih.

“Iya, Tan. Om Hadi nggak di sini, ya? Padahal ini Minggu.”

Tia tersenyum kecut. “Ada rapat darurat katanya.”

Ishana memperhatikan lelaki yang terbaring lemah di ranjang pasien itu. Dia mengamati sejenak layar kardiograf yang menunjukkan detak jantung Glen normal. Gadis itu menghela napas syukur lalu bertanya, “Tan, gimana keadaan Glen?”

“Seperti yang bisa kamu lihat, dia belum bangun sama sekali. Belum ada perubahan, tapi kata dokter semuanya normal sampai sekarang.” Senyum paksa terbit di bibir Tia. Dalam hati Tia selalu menyangkal perkataan dokter, bisa saja mereka sudah diperintahkan oleh Hadi untuk tidak mengatakan kondisi Glen yang sebenarnya. Bagaimana bisa dia belum membuka mata kalau semuanya baik-baik saja?

∆ I See You ∆

Setelah dari rumah sakit, pasti ketiganya akan singgah ke rumah Ishana. Mereka membicarakan kemungkinan-kemungkinan terburuk atau kesempatan untuk menangkap orang gila itu. Tidak jarang ketiganya berdiskusi tentang pelajaran sekolah.

“Keadaan Glen sekarang nggak memungkinkan kalau ngelawan orang itu. Tapi kenapa ‘dia’ nggak beraksi dan malah kirim teror terus?” gerutu Lizzy. Dia mengacak rambutnya frustrasi.

“Lo nyumpahin Glen dibunuh?!” geram Ishana. Dia tidak terima dengan perkataan Lizzy.

Kevin mencoba menengahi. “Bukan gitu maksud Lizzy, Sha. Kita semua frustrasi, jadi kita harus saling ada buat satu sama lain. Apalagi dengan keadaan Glen yang sekarang ini.”

Air mata kembali mengalir di pipi Ishana. Lagi-lagi dia menyalahkan diri atas apa yang menimpa Glen. Lizzy merapatkan diri padanya, gadis itu mengusap lengan Ishana mencoba menenangkannya.

“Ngomong-ngomong gimana sama pelacakan HP-nya?” tanya Kevin tidak sabaran.

Ishana mengusap kasar kedua matanya. Dia mengeluarkan ponsel dan membuka sebuah percakapan antara dirinya dan seseorang. “Katanya, terakhir kali aktif ada di sekolah kalian.”

“Nggak bisa dipercaya kalau pelakunya ada di sekolah,” ungkap Lizzy dengan pandangan menerawang ke depan.

“Dan nggak pernah ada lagi kabar sejak saat itu. Dia kayak udah tahu kalau itu bisa jadi kunci kita,” lanjut Ishana dengan penuh keyakinan.

Kevin tampak berpikir. “Gimanapun juga mulai besok kita harus lebih waspada lagi, karena pelaku udah dipastikan salah satu warga sekolah,” ungkap cowok itu menatap Lizzy dan dijawab dengan anggkukan olehnya.

“Gue harap kita bisa ngelewatin semua ini sama-sama,” ucap Ishana sendu.

∆ I See You ∆

Ruangan gelap tanpa cahaya itu selalu menjadi tempat favoritnya. Tertawa terbahak-bahak hingga mengamuk meraung-raung. Tidak ada esensi serupa yang terasa saat berhadapan dengan orang lain. Menyembunyikan jati diri. Tersenyum paksa, atau bahkan berpura-pura mempunyai rasa belas kasih.

Dia adalah bayangan kegelapan. Menyembunyikan diri dengan kamuflase lebih hebat dari bunglon. Beradaptasi, bertahan hidup lebih hebat dari pada kaktus di tengah padang pasir.

Manusia tanpa perasaan. Manusia dengan ambisi melihat keindahan melalui jeritan, penderitaan, dan darah orang lain. Itulah dia, dia yang tidak layak dianggap manusia.

“Tunggu saja waktu kalian. Aku akan bersantai sejenak, akan aku berikan waktu lebih panjang bagi kalian yang ingin menikmati udara kotor dunia ini.”

∆ I See You ∆

Ikuti terus cerita ini. Jangan bosen-bosen, ya, siapa tau bentar lagi tamat 🙈

Kunjungi juga akun nadyanur290

Jangan lupa tinggalkan jejak
Vote 🌟 + Comment 💬

Jangan lupa juga follow akun Instagram @wrld_club_official dan @nadya_nurma

Sabtu, 29 Agustus 2020

Salam sayank

Nadya_Nurma 😘

Who is the Killer?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang