22. Sisi Lain (1)

665 110 4
                                    

Memang benar, diam menunggu keajaiban tanpa melibatkan diri dalam upaya mengubah keadaan bukanlah kebiasaan Zanna. Baru sebentar melakukannya, dia sudah gelisah tidak karuan.

Meski takut setengah mati, Zanna bangkit dan mencari ranting. Zanna beruntung karena sepertinya lokasi itu masuk ke dalam area penghijauan sehingga pohon-pohon tumbuh di sepanjang trotoar. Begitu menyambar sebuah ranting yang cukup panjang, dia lalu mengentak-ngentakkan benda itu di aspal, tidak jauh dari tempat motornya tergelatak. Sialnya, gerakan itu tetap tidak memancing si ular untuk bergerak.

Mengabaikan jantungnya yang berdegup cepat juga kemungkinan si ular akan menjadi agresif, Zanna berjalan lebih dekat dengan motor. Kemudian persis di kaca spion, Zanna membuat pergerakan. Si ular mulai memberi respon dan jantungnya semakin terpompa. Ranting yang Zanna pegang semakin dekat dengan si ular. Zanna bisa merasakan keringat mulai bergulir di antara pelipis saat ujung ranting disentuhkan ke tubuh ular. Geliat agresif yang dilakukan ular membuat Zanna terlonjak mundur. Lilitan si ular di stang kemudi mengendur, dan perlahan-lahan lilitannya mulai terlepas. Ular bergerak turun dan akhirnya menjauhi motor menuju tepi trotoar yang lain. Sementara ular terus menjauh dari pandangan, tak sedetikpun Zanna melepaskan pandangan dari si ular, demi meyakinkan kalau ular tersebut memang sudah tak berada di motornya lagi.

Zanna juga perlu meyakinkan diri tidak ada ular lain yang menggerayangi motor, sebelum mengangkat benda itu dari posisi rebah. Setelahnya barulah Zanna bisa bernapas lega. Sepertinya insiden ini terjadi karena dia baru saja membohongi orangtuanya. Kalau ganjarannya begini, Zanna akan berpikir dua kali untuk berbohong. Zanna percaya, cuma soal keberuntungan dia bisa selamat. Bagaimana kalau ular tadi sempat mengigitnya?

Setelah sekali lagi memastikan kondisi motor sudah aman dari binatang berbahaya, Zanna melanjutkan perjalanannya. Bahkan rasa nyeri dan perih di sikunya baru terasa setelah motor melaju.

Memasuki kawasan tempat tinggal Troy, Zanna perlu mengingat-ingat kembali arah menuju ke sana. Karena kondisinya sudah malam, Zanna beberapa kali salah memilih arah. Tapi pada akhirnya dia lega bisa sampai di tujuan. Pencariannya yang penuh pengorbanan itu membuahkan hasil.

Zanna memarkirkan motornya di luar pagar. Zanna memperhatikan rumah yang tampak gelap dengan hati was-was, penerangan hanya berasal dari lampu teras. Terlalu dini dia ketika merasa lega berhasil sampai di rumah Troy, pasalnya mungkinkah bagian dalam rumah yang dalam kondisi gelap gulita itu menunjukkan tanda-tanda keberadaan seseorang?

Meski ragu, Zanna memutuskan untuk mengecek sendiri. Menemukan pagar dalam keadaan tidak terkunci, secercah harapan merambati hati Zanna. Ketika melintasi halaman, ulasan kejadian saat teman-teman Keil memukuli Troy singgah dalam benaknya. Ingatan itu semakin menambah keyakinan Zanna untuk menemui Troy. Setibanya di depan pintu, Zanna mengetuknya, berulang-ulang. Tidak ada respons. Benda di depannya bergeming dan hening.

Zanna melirik jam di ponselnya. Waktu terus bergerak dan malam semakin larut. Sampai kapan dia berdiri di sini dan berharap pintu di hadapannya terbuka, sedang nyatanya rumah itu tidak berpenghuni?

Hasil dari kekecewaan, membawa tangan Zanna menyentuh gagang pintu, lalu menekannya tanpa berharap apa-apa. Lucunya, saat dia sudah berada dalam mode pasrah dan kehilangan ide, pintu di hadapannya terbuka. Zanna terkejut bukan main. Jenis kekagetan yang lebih mendekati bahagia, sepertinya, karena sesuatu bernama harapan sedikit menampakkan jati dirinya.

Zanna mendorong daun pintu lebih lebar. Penerangan dari teras, membuat sedikit cahaya masuk ke dalam hingga Zanna bisa melihat bagian dalam ruangan. Namun ketika dia mulai bergerak dan semakin memasuki rumah, cahayanya berangsur-angsur lenyap. Zanna segera menggantikannya dengan cahaya dari ponsel.

Tidak tahu motivasi seperti apa yang membuat Zanna berani memasuki rumah tanpa penerangan itu. Sepertinya tekad Zanna untuk menemukan Troy tidak main-main hingga membawanya sampai pada sebuah ruangan. Zanna mengenali ruangan itu saat matanya menangkap beberapa buah pigura tergantung di dinding.

Cukup lama dipandanginya pigura-pigura itu sampai kemudian mulai bergerak turun ke bawah dan saat itu juga matanya terbeliak lebar mana kala mendapati sesosok tubuh meringkuk tersudut di samping sebuah lemari.

Tekad dan niat yang besar, nyatanya tidak sanggup menahan imajinasi liar Zanna ketika mendapati rumah itu dihuni makhluk lain. Seketika dia menjerit.

Jeritannya memberi kesadaran pada sosok yang sedang meringkuk itu atas keberadaan orang lain di rumah itu.

"Elo?!" sosok itu berseru ke arah Zanna.

"Troy!" Zanna membalas berseru, perpaduan rasa terkejut sekaligus lega. "Ya ampun... Akhirnya!"

Zanna mendekati Troy dengan lampu senter ponsel yang masih menyala. Dia bisa melihat Troy memicingkan mata ketika cahaya senter memantul ke arah cowok itu.

"Singkirin senter lo," Troy berdecak sembari menutupi wajahnya dengan sebelah tangan.

"Sorry, sorry," Zanna mengarahkan cahaya ke arah lain. Lalu berjongkok di depan Troy.
"Gimana keadaan lo, Troy?"

Troy yang semula menekuk kedua lutut, mengubah posisi duduk dengan menurunkan kaki kirinya ke lantai sementara kaki kanannya ditekuk tegak ke atas.

"Mau apa lo ke sini?"

"Gue nyariin lo, tahu. Gue khawatir. Kita semua khawatir. Ilan dan anak-anak yang lain nyari lo ke sini tapi mereka nggak nemuin lo di sini."

Troy mengamati Zanna dengan tatapan tak suka.

"Gimana keadaan lo, Troy?" mengabaikan tatapan Troy itu, Zanna mengulang pertanyaannya sambil mengamati wajah cowok itu seksama. Zanna masih menemukan lebam, tetapi sudah berubah warna menjadi keunguan. "Apa badan lo masih sakit-sakit?"

"Lo pikir aja sendiri, gimana rasanya habis dikeroyok. Atau lo perlu nyoba dulu buat tahu gimana rasanya, iya?"

Sikap sinis dari ucapan maupun wajah Troy membuat Zanna mengernyitkan kening. Troy itu suka sekali memancing keributan. Sikapnya yang tak peduli dan kerap bangga dengan semua pencapaian negatif itu berbanding lurus dengan selalu memasang wajah bahagia di atas penderitaan orang lain. Jadi Zanna akrab dengan semua ekspresi itu. Tapi sekarang di depannya, dengan orang yang sama, ekspresi sinis yang awam dan nyaris tak pernah Zanna lihat, tampak begitu jelas dan tak tertutupi. Tidak bisa tidak, Zanna menjadi heran karenanya.

Ketika matanya mengamati Troy, dia baru menyadari sesuatu yang aneh yang sedang cowok itu kenakan. Cowok itu memakai kemeja biru muda lengan panjang.

Tunggu. Kemeja?

Selain seragam sekolah, sepanjang sejarah yang dia ingat, Troy tidak pernah terlihat mengenakan pakaian semacam itu. Bisa jadi kemungkinan Zanna memang tidak pernah melihatnya. Tapi yang mengherankan adalah waktu, tempat serta alasan cowok itu mengenakan kemeja. Oke, mungkin cowok itu baru pulang dari acara formal atau sejenisnya dan tidak sempat mengganti pakaian. Dalam pemikirannya, Zanna mencoba menstimulus dirinya dengan hal positif. Walau tetap saja, alasan itu menjadi tidak masuk akal mengingat bagaimana kondisi Troy saat ini.

Menyadari ke mana arah tatapan Zanna, tanpa meninggalkan matanya dari Zanna, satu per satu Troy melepaskan kancing kemeja. Begitu semua kancing terlepas, Troy menanggalkannya. Ternyata kemeja itu baru separuh keanehan. Puncaknya justru ada di balik kemeja itu. Coba tebak apa yang Zanna lihat, sedang dikenakan Troy di balik kemeja tadi?

Sebuah blouse!Blouse, saudara-saudara! Blouse, yang semua orang juga tahu adalah salah satu jenis pakaian wanita.

Zanna ternganga.

Menyaksikan hal itu, Zanna tidak bisa kembali membendung imajinasi liarnya. Apa di malam hari, Troy punya jenis kelamin ganda atau pekerjaan sampingan?



📣

Distorsi (END) TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang