10. Area Terlarang (part 1)

964 130 1
                                    

"Stupid! Stupid!"

Zanna hanya bisa menampilkan ekspresi letih dengan mulut terkunci rapat ketika untuk sekian kalinya mendengar Qouri mengeluarkan seruan yang sama, demi mengutuk tindakan yang dilakukannya beberapa jam lalu. 

Bahkan di saat Zannet sedang marah, Zanna masih bisa menangkis setiap omelan kakaknya itu. Tapi lain hal jika yang melakukannya adalah Qouri. Mau seperti apa pun pembelaan yang dilontarkan, gadis itu akan membalik kembali ucapannya, untuk menambah rentetan panjang penghakiman.  

"Gue repot-repot bawain lo spray cabe buat pertahanan diri. Buat ngasih pelajaran buat tuh cowok. Terus kalau akhirnya lo malah tolongin dia, apa gunanya coba?!"

Suaranya memang tidak begitu nyaring, tapi tetap saja telinga Zanna jadi panas dan berdenging. Sejak tiba di rumahnya dan masuk ke kamar ini, gadis itu non stop mengomel. Seperti ada program khusus yang ditanam di otaknya hingga tak mengenal kata lelah.

Zanna sampai bingung bagaimana cara supaya Qouri membungkam. Minimal lima menit. Supaya Zanna punya waktu pergi ke toilet untuk buang air.

Dia lalu melirik Fatiya. Gadis itu terkantuk-kantuk duduk di kursi depan meja belajar. Berhasil menyeret seseorang yang sedang terlelap beranjak dari tempat tidur dan memaksanya ada di ruangan ini, hanya Qouri yang bisa melakukannya.

Tadinya Fatiya tidur di kasur Zanna. Oleh karena terganggu dengan suara Qouri, gadis itu jadi berpindah-pindah tempat, demi mencari lokasi yang nyaman untuk kembali tidur.   

Seandainya saja sore tadi sewaktu dilanda panik, Zanna tidak gegabah menelepon Fatiya. Sekarang Qouri pasti tidak akan menyambangi Zanna ke rumah. Mana dia tahu kalau Fatiya membocorkannya pada Qouri.

"Waktu masih di kelas, kenapa nggak hubungi gue atau Tiya?" tanya Qouri dengan kegarangan yang masih belum berkurang.

"Bukan pilihan aman. Lagian Troy nggak bakal ngebiarin gue ngelakuin itu."

"Terus ini-" Qouri menendang kemeja yang tergeletak di bawah kaki kasur. Tadi Qouri juga yang melempar kemeja itu ke lantai dengan segenap kekuatan. Seolah Troy-lah yang diperlakukan seperti itu. "heran gue sama lo, masih juga punya rasa iba setelah dikerjain habis-habisan." 

Bukan iba, tapi rasa kemanusiaan, jerit Zanna, tetapi hanya di dalam batin.

Ia kemudian memandang nahas kemeja tersebut. Dan otomatis teringat lagi saat Troy menyodorkan benda itu padanya setelah mereka keluar ruang IGD. Hal itu mau tidak mau mengulas kembali bayangan saat mereka dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Masih tertinggal hingga sekarang, bekas telapak tangan Troy yang menempel di pinggangnya. Tanpa sadar Zanna bergidik, lalu buru-buru mengusap tepi tubuhnya. Mengusir kelabat imaginatif yang tervisual dalam benak.

Pada bagian itu Zanna sengaja tak menceritakannya pada Qouri maupun Fatiya. Menolong Troy saja, Qouri menganggapnya kesalahan fatal. Apalagi jika sampai tahu Troy sempat memeluknya-oke, mungkin hampir seperti memeluknya. Qouri bisa mengamuk tidak karuan.

Bukannya Zanna tidak senang mendapat pembelaan. Kalau sudah terlambat begini, sia-sia saja. Hanya membuat situasi makin kacau.

"Oke, oke, gue salah. Harusnya gue nggak nolongin Troy," ujar Zanna frustasi, menyesal sekaligus berharap Qouri akan berhenti marah-marah.

"Memang lo salah!" sambar Qouri seketika, suaranya melengking nyaring. Membuat Fatiya yang tertidur sambil bertopang  lengan di atas sandaran kursi, terkejut, nyaris terjungkal jika saja Zanna yang duduk di tepi tempat tidur tidak menahan bagian belakang kursi. Fatiya sempat melayangkan tatapan protes, tapi tak diacuhkan Qouri.

Zanna ikut-ikutan memperhatikan wajah garang Qouri yang berdiri di depan jendela, persis di seberang Zanna. Dengan bertolak pinggang dan mata melotot seperti itu, Qouri lebih cocok jadi anak mamanya ketimbang anak Tante Rana yang kalem dan lembut.

"Bantu dia ke toilet buat cuci mata aja udah tindakan bodoh. Ini lo tambah lagi dengan nganterin dia ke IGD. Duh, Zanna, otak di ke manain sih," gadis itu membungkuk menatap Zanna dengan wajah sinis sambil memutar telunjuknya di samping pelipis.

Zanna menghela napas panjang. Kalau Zanna baru satu dua hari ini mengenal Qouri, dia pasti akan sangat tersinggung dikatai seperti itu. Bersahabat sejak SMP membuatnya cukup paham luar dalam mulut berbisa Qouri. Jangankan dengan sahabatnya, dengan kakaknya sendiri saja, Qouri tak mengenal ampun.

Kalau mau sepakat dengan Qouri, memang ada satu kebodohan yang disesalinya, bersedia mengantar cowok itu ke IGD. Seandainya saja logika Zanna tak tertutup oleh kepanikan dan rasa bersalah, cukup bawa saja cowok itu ke UKS sekolah. Ini hanya insiden tertumpah air cabe, bukan Zanna menggorok leher Troy hingga nyaris putus.

Pikiran mengenai hal tidak menyenangkan itu terputus ketika tiba-tiba melihat Fatiya bangkit dari duduk. Gadis itu memutar tubuh menghadap Zanna. Lalu tangannya terangkat. Dengan buku jari dia mengetuk kepala Zanna, sementara telinganya dirapatkan di kepala Zanna.

"Masih, masih di sini kok otaknya," ujarnya, sembari menoleh pada Qouri.

Qouri mendengus malas. "Tiya, apa sih, nggak lucu."

Zanna mengulum senyum tanpa  sadar. Tingkah Fatiya sedikit mencairkan ketegangan di hati Zanna.

"Istirahat dulu. Nih, tenggorokan lo pasti kering dari tadi ngomong nggak berjeda," dengan wajah setara kepolosan bocah berusia lima tahun, Fatiya mengulurkan segelas air pada Qouri.

Qouri mendecak pelan menanggapinya. Namun tidak menolak gelas yang disodorkan padanya. Gadis itu meneguk isi gelas, nyaris hingga tandas.

"Lo marah-marah terus, ganggu banget, Qouri. Kalau begini apa bedanya lo sama Troy?"

"Lo tanya apa bedanya?" Qouri melotot dengan tangan terlipat di dada. "Jelas beda. Mulut gue ngomel sampai berbuih begini untuk kepentingan Zanna. Supaya otak manpetnya ini tercerahkan, bisa bedain mana orang yang patut ditolong sama nggak."   

Berlanjut lagi sepertinya. Perasaan baru beberapa detik urat gadis itu longgar sekarang sudah mengencang lagi.

"Oh my God, kenapa sih gue diberi cobaan punya teman-teman kayak lo berdua. Fatiya Edeline, lo bandingin gue sama Troy aja itu udah jelas-jelas sa-lah be-sar ya. Lo tahu sendiri selama ini perbuatan Troy itu merugikan teman kita."

"Lo yang sedari tadi ngomel nggak berujung nggak berpangkal, apa nggak merugikan juga? Lo bangunin gue secara paksa dari tidur gue yang syahdu dan ngajak gue ke sini. Nggak merugikan? Terus, Zanna baru kena musibah. Harusnya ditenangin dan dihibur supaya nggak makin drop. Zanna pasti menderita banget harus menghadapi Troy sendirian. Terus ketambahan lo marahi begini. Makin down nanti dia. Nggak merugikan?"

Zanna menatap Fatiya terharu. Oh, Tiya I love you...

"Whatever you say," Qouri mengibas tangan, tanda tidak peduli dengan ucapan Fatiya. "Mau lo ngomong apa juga, di mata gue tindakan Zanna itu kesalahan. Lo pegang omongan gue ini," Qouri mengembalikan tatapan pada Zanna, lalu menunjuk mulutnya sendiri dengan jari. "Cowok yang lo hadapi itu bukan cuma manusia lakhnat tapi manusia nggak berotak. Manusia kalo nggak ada otaknya, sanggup ngelakuin apa aja. Mending mulai sekarang lo kendalikan rasa nggak tega lo itu. Kalau nggak, siap-siap aja nanti, itu bakal menghancurkan diri lo sendiri." 

🔔

Distorsi (END) TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang