Zanna berhenti memilin rambut ketika sadar, tindakannya bisa merusak tekstur rambutnya. Diurutnya pelan helaian rambut itu hingga lurus kembali sebelum mendorong rambutnya yang diikat ekor kuda ke belakang punggung. Kecemasan sejak beberapa hari belakangan ini terus merundung Zanna, tepatnya setelah pengeroyokan Troy yang membuat cowok itu tidak masuk sekolah sampai hari ini.
Fatiya yang duduk di samping Zanna sedang menyantap bakso, menoleh dramatis ketika mendengar Zanna mengembuskan napas kuat-kuat.
"Kenapa sih, Na, gelisah banget kayaknya?"
"Troy nggak masuk lagi. Padahal udah tiga hari dia izin sakit."
"Lo lihat sendiri, kan, muka Troy waktu itu hancur parah. Seenggaknya butuh seminggu atau lebih sampai mukanya balik lagi kayak semula. Ya kan, Qor?"
Yang ditanya hanya mengangkat bahu tak acuh. Mata dan tangan kiri asyik pada layar ponsel sedang tangan kanan, menyendok soto ayam ke mulut.
"Seminggu?" ulang Zanna, nada frustasi terdengar jelas dari suaranya, sehingga itu menjadi alasan terbaik bagi Qouri kembali menarik perhatian dari layar ponsel.
"Kurang kerjaan banget si lo, mikirin Troy sampai segitunya. Penculikan itu nggak bikin lo jera juga, ya," Qouri sampai meletakkan ponselnya hanya untuk fokus mengomeli Zanna.
Duh, Qouri ini, hidupnya nggak bisa apa kalo tanpa mengomel sehari aja? Badannya bisa gatal-gatal gitu ya kalau nggak ngomel?
"Gue belum sempat mengkonfirmasi sesuatu ke dia, Qor. Penting banget buat gue tahu kejadian yang sebenarnya. Mungkin aja gue bisa mencegah Keil berbuat sesuatu yang lebih parah dari kejadian waktu itu. Lo tahu nggak, kalo sampai Keil berencana buruk lagi, imbasnya pasti ke gue juga nanti. Karena dia masih mikir gue ada apa-apa sama Troy," ulas Zanna panjang lebar.
"Ya gimana si Keil nggak mikir begitu kalo lo aja kerempongan gini nyariin tuh cowok," tampik Qouri dengan suara cukup keras. Zanna memperhatikan sekeliling kantin, menemukan beberapa pasang mata menoleh ke arah mereka. Sementara Si Penarik Perhatian tak tergubris sedikit pun, malah kembali bicara dengan volume yang belum berkurang. "Udah sih santai. Daripada ribet begitu, noh, samperin aja Lilian. Tanya langsung ke doi. Lebih clear kan semuanya."
"Nggak mungkin bisa, tanpa ketemu Keil."
"Iya. Nggak! Jangan sampai lo ketemu si brengsek itu."
"Makanya. Lagian juga, gue nggak yakin Lilian sanggup cerita," timpal Zanna dengan suara lirih.
"Kalo gitu kenapa nggak samperin aja Troy ke rumah yang waktu itu, Na?"
"Masalahnya, kata Ilan, cowok itu nggak ada di sana. Dia sama anak-anak sempat nengokin ke situ. Tapi nggak ada siapa-siapa. Rumah itu kosong."
"Gue perhatikan juga kayaknya rumah itu udah lama nggak ditinggali. Mungkin Troy tinggal di rumah yang lain kali, ya," Fatiya bergumam, suaranya pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang berseliweran di kepala Zanna. Banyak hal yang ingin dia tahu, tapi keterbatasan informasi, membuat Zanna sebatas ini hanya bisa terus menerka-nerka. Terjebak dalam pikiran seperti ini sangat tidak menyenangkan. Berkali-kali Zanna kehilangan konsentrasi belajarnya karena isi kepala yang bercabang-cabang.
Zanna bukan orang yang bisa tetap tenang sementara pikirannya sedang terusik oleh sesuatu. Dan menunggu sepertinya bukanlah kebiasaan Zanna. Jadi dia hanya perlu menggenapkan tekad untuk kemudian memutuskan menemui Troy di rumah kosong itu. Ditemukan atau tidaknya cowok itu di sana, urusan belakangan. Lebih baik ada sesuatu yang dilakukan daripada diam dan menenggelamkan diri dalam kekalutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi (END) TELAH TERBIT
Novela JuvenilDulu Zanna mengidolakan Troy karena suaranya yang merdu. Tapi itu sebelum Zanna tahu kalo Troy pembuat onar sejati. Namanya jadi urutan teratas dalam daftar siswa paling bermasalah di SMA Nusa Bangga. Zanna mundur teratur dan berusaha menjauhkan dir...