Sebenarnya Troy menyukai tempat ini. Dia setuju ketika Zanna bilang, ini tempat bagus dan aman untuk bersembunyi. Tidak akan ada yang menganggunya jika dia berada di sini lebih lama. Zanna pun meski berada di sebelahnya, gadis itu tak bersuara lagi setelah Troy menerima telepon tadi.
Dia butuh waktu, setidaknya beberapa jam ke depan untuk memulihkan emosinya. Pembicaraan dengan si penelepon masih memengaruhinya hingga beberapa menit setelah telepon dimatikan. Rokok yang sekarang terselip di antara jari pun, belum sepenuhnya mampu meredakan dirinya yang bergejolak dengan rasa kesal dan benci.
Bermenit-menit terlewat, cerita Zanna mengenai rumah warisan keluarga tak lagi terdengar. Padahal diam-diam Troy menikmati cerita tersebut dan menunggu Zanna melanjutkan. Tadi dia memang tak berkomentar banyak. Bukan tanpa alasan Troy membungkam diri sepanjang Zanna bercerita, karena sebagian benaknya diisi oleh simpul-simpul kenangan. Jadi apa yang dirasakan papanya Zanna terhadap rumah ini, bisa jadi sama persis seperti apa yang Troy rasakan terhadap rumah peninggalan orangtuanya.
Ruang tengah dan halaman belakang menjadi tempat yang paling lekat mendominasi diingatan. Di ruang tengah, biasanya mama menemani Troy mewarnai atau membantu Troy mengerjakan tugas-tugas sekolah. Sedang di halaman belakang, menjadi tempatnya sering beradu bola kaki dengan papanya.
Tidak butuh waktu lama dan seribu satu alasan, hingga setelah kenangan itu terangkat lagi dari ingatan, Troy digempur oleh perasaan rindu yang meriak-riak. Sadar keberadaannya, Troy menekannya jauh ke dasar. Di atap ini, meski dia menyukai berada di sini. Namun Troy tidak akan mendapat apa-apa, selain kekosongan.
Lebih sering ketika perasaan seperti ini datang tiba-tiba, Troy akan mendekam di rumah orangtuanya yang tak berpenghuni. Bersembunyi di sana sampai berjam-jam, berhari-hari jika perlu. Membaurkan diri bersama aroma pengap serta lembap rumah itu, sampai memori itu seperti dapat terjangkau meski hadirnya hanya serupa ilusi.
Jika Troy pergi ke rumah orangtuanya, orang itu pasti akan mencari Troy ke sana.
Orang itu, tidak akan berhenti dan menyerah untuk memaksanya pulang.
Troy bisa tidur di mana pun. Dan baru saja dia mendapat sebuah gagasan untuk menjadikan atap ini sebagai persinggahannya malam nanti. Pertimbangan lain segera mengusiknya. Dengan berada di sini, demi meredakan kerinduan itu, berarti dia tidak mungkin bisa melakukan apa yang biasa dilakukan saat berada di rumah orangtuanya.
Troy menoleh pada Zanna setelah membuang puntung rokok yang telah pendek ke halaman samping. Pandangan gadis itu lurus ke depan, tapi begitu menyadari Troy memperhatikan, gadis itu menatapnya balik. Senyum tipis Zanna keluar, yang hanya direspons oleh Troy dengan memalingkan wajah.
Troy sudah memutuskan. Dia lantas berdiri. "Za, gue cabut."
Troy menunduk menyambut tatapan heran Zanna yang mendongak menatapnya.
"Mau ke mana?"
"Cabut," ulang Troy.
"Iya, tahu. Maksudnya abis dari sini lo mau ke mana? Pulang?"
Troy tak segera menjawab. Gadis ini, sejak muncul tiba-tiba malam itu di rumah orangtuanya, berubah menjadi ingin tahu apa pun.
"Kalo lo nggak punya tujuan, daripada keliaran mending di sini aja dulu. Nggak pa-pa kok."
Nada lembut yang tertangkap dari suara gadis itu membuat Troy tertawa dalam hati. Rasanya aneh saja menerima sikap ramah dan welcome Zanna, sementara sebelum ini berdekatan dengannya saja, Zanna seperti alergi. Ulasan kejadian di UKS, merebak kembali dari ingatan. Dan tanpa disadari, hal itu membuat tatapan Troy terarah lekat pada gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi (END) TELAH TERBIT
Teen FictionDulu Zanna mengidolakan Troy karena suaranya yang merdu. Tapi itu sebelum Zanna tahu kalo Troy pembuat onar sejati. Namanya jadi urutan teratas dalam daftar siswa paling bermasalah di SMA Nusa Bangga. Zanna mundur teratur dan berusaha menjauhkan dir...