Bab XXIII. In Your Mind

473 76 76
                                    

Leona mengembuskan napas dalam perjalanan ke rumah sakit sekolah. Ia melihat kembali lengannya yang memiliki bekas luka. Ia tahu apa yang ia lakukan tepat. Ia merasa ia tidak bisa memberitahukan teman-temannya secara gamblang apa yang ia lakukan dengan Greta. Dengan darah itu, mungkin ia bisa menyampaikan kepada mereka apa yang ia lakukan.

Penjaga Greta tampak berdiri tidak jauh darinya. Ia kembali mengembuskan napas. Ia memang tidak bisa ke mana-mana sampai besok. Greta tidak akan membiarkannya memberitahu teman-teman yang lain. Ia juga berpikir ada baiknya mereka tahu dengan cara lain. Karena sekolah ini ada dalam pengawasannya.

Itu artinya, aku tidak bisa ikut latihan sore ini. Aku harus beritahu yang lain, batin Leona.

Sesampainya di rumah sakit, ia bertemu Ken yang tengah piket. Lelaki itu sedang duduk di kursi penjaga rumah sakit sekolah. Selain itu, tidak ada anak-anak lain di sana. Mungkin mereka hanya minta obat dan istirahat di asrama yang hangat, apalagi di musim dingin.

"Ada apa Leona? Kau butuh sesuatu?" tanya Ken.

"Ah, aku berharap mungkin kau bisa mengatasi ini." Leona menunjukkan lengan kirinya yang terluka. Bekas darah terlihat di sekelilingnya.

Ken mendekat. "Astaga, apa yang terjadi? Kenapa tanganmu sampai luka begini?" Ia bertanya dengan cemas.

Leona tersentak dan menggaruk tengkuknya bingung. "Ng... tidak sengaja kena pena!"

"Pantas saja terlihat seperti luka tusuk." Ken memeriksa tangan Leona lalu menghela napas. "Ikut aku!"

Ken membawa Leona ke salah satu ranjang rumah sakit. Ia menyuruh Leona duduk sementara dirinya sendiri mengambil obat luka, perban, dan juga semangkuk air.

"Apa perlu segitunya?" tanya Leona bingung.

"Bagaimana tidak, ini seperti luka tusuk. Apalagi dengan pena. Setidaknya lukamu harus dibersihkan dulu. Tahan sebentar, ya!" Ken mulai membasuh tangan Leona untuk membersihkan noda darah di kulit Leona.

Leona meringis ketika air itu menyentuh lukanya. Cukup perih, tapi masih bisa ia tahan. Kemudian, Ken mengeringkan tangan Leona dengan handuk yang sudah ia siapkan. Ia pun memberi sedikit obat luka yang mana membuat Leona meringis kesakitan.

"Perih, ya?" tanya Ken sambil tetap fokus mengobati Leona. "Tahan sebentar."

Leona mengangguk. "O-oke!" Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya. Setelah diberi obat luka, barulah lukanya ditutup dengan perban.

"Aku menilai mungkin lukanya tidak begitu dalam, tapi ini buat jaga-jaga saja. Kalau dirasa darahnya keluar lagi, hubungi aku!" ucap Ken, masih menatap perban yang menyelimuti lengan Leona.

Leona hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. "Tentu saja "

"Nah, sudah selesai!" Ken berdiri dan menatap Leona dengan senyumannya. "Kau ada urusan, bukankah begitu?"

Leona menimbang sejenak. "Entahlah."

Ken menepuk pundak Leona, masih belum melepaskan tatapannya. "Kalau begitu, semoga berhasil!"

"Terima kasih banyak!" Setelahnya, Leona langsung keluar. Ia mendengus lalu melihat kembali lengannya. Baik, saatnya kita lihat apa yang terjadi selanjutnya.

***

"Bola kristal Profesor Al mau diambil?" tanya Amanda tidak percaya.

Mereka berlima berhasil menemukan Caroline di ruang musik. Gadis itu ternyata sedang bersembunyi di sana--entah bagaimana ia bisa masuk. Namun mereka berlima dapat masuk setelah menemukan sosok Caroline sedang berbaring di kursi piano dan memintanya untuk membukakan pintu dari dalam. Entah kenapa, Caroline dapat membukanya.

Loctus : The Owner Of The Fire - [4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang