Bab VI. A Woman Who Hide Her Face

632 77 150
                                    

Lagi-lagi, Kai mendesah bingung meratapi ponselnya di ruang pribadi. Ayahnya baru saja menghubunginya lagi untuk membicarakan Leona. Beliau bertanya kabar Leona, kabar anak-anak lain di sana, dan segalanya. Namun, kelihatannya hampir semua tidak berjalan normal.

Beberapa anak merasakan kekecewaan besar mengenai peraturan baru. Achler dilatih untuk bisa menggunakan senjata, bukan hanya secara teori. Kalau hanya menurut teori, Kai pun bisa melakukannya di rumah.

Ia merasa bingung. Penabrak Leona semakin tidak jelas. Ada yang aneh. Dan lagi, ada sesuatu yang janggal dikatakan ayahnya tadi di telepon. Ayahnya menjelaskan pula bahwa ada seorang anak perempuan berambut biru yang dulu selalu duduk di bangku rumah sakit tepatnya di depan kamar di mana Leona dirawat.

Anak berambut biru? Apalagi? Kai mengacak-acak rambutnya tidak jelas sembari melangkah keluar ruang pribadi.

Angin malam baginya tidak begitu dingin, namun ia membayangkan jika Leona yang merasakannya, mungkin situasi berbeda.

Penabrak Leona kemungkinan delapan puluh persen adalah Jin Jae Woo. Namun, kenapa saat mereka bertemu Jae Woo tidak ingat apapun? Kasus yang ditangani paman Leona juga tergolong berbahaya. Ini membingungkan, batin Kai.

"Hideoki?" Suara itu memecahkan pikirannya.

Kai menolehkan wajahnya dan menunduk. "Nishimura."

Aiko dengan penampilan samarannya mendekat. Ia membawa segelas teh panas yang bisa terlihat dari kepulan uapnya. "Kau tidak tidur?"

"Kau sudah melihatnya sendiri, 'kan?" tanya Kai.

"Benar juga."

Kai menghela napas, menatap Aiko yang begitu dingin. Gadis itu memperhatikan hutan dengan seksama, seolah hutan itu akan melambai padanya.

"Apa kau mau pergi?" tanya Kai melihat Aiko telah mengenakan jubahnya.

"Mungkin, aku tidak tahu." Aiko mengendikkan bahu. "Memang kenapa?"

"Mau ke mana?" tanya Kai.

Aiko menyipitkan mata. "Kau banyak bertanya."

"Hanya memastikan diriku dan teman-temanku jauh dari bahaya." Kai membalas santai, lalu membalas tatapan Aiko dengan sinis. "Oke?"

"Iya." Aiko kembali memalingkan muka dari Kai. "Kau tidak bertemu dengan Leona?"

Kai menggeleng pelan. "Tidak. Kurasa dia sudah tidur."

Aiko membuka mulutnya, hendak mengatakan bahwa Leona tidak ada di kasurnya. Namun ia kembali mengatupkan mulutnya, seolah itu hanya akan membuat Kai panik dan dilihat dari sikapnya tadi, Kai tampak ingin tenang.

"Kau... mau ikut?" tanya Aiko.

"Ke mana?" Kai balas bertanya. "Jika itu berbahaya, maka tidak."

Aiko menyipitkan matanya lagi. "Menemui Profesor Al, dia memberi tugas padaku. Mungkin saja kau ingin menemuinya."

Kai tampak menimbang beberapa saat lalu bertanya, "Dia baik-baik saja?"

"Kenapa tidak kau temui saja? Teman-temanmu juga akan penasaran, 'kan?" Aiko mencoba untuk tidak melontarkan kata-kata tinggi. "Karena aku sendiri belum menemuinya."

"Apa boleh?" Kai bertanya balik.

"Kalau kau juga mau," jawab Aiko, lalu bertanya kembali, "Bagaimana?" Sambil menunggu jawaban Kai, ia meneguk tehnya sampai habis dan kemudian mengeluarkan tongkatnya. Ia membacakan mantra pada cangkirnya dan seketika cangkir itu lenyap.

Kai menimbang beberapa saat, kemudian memikirkan sesuatu soal ayahnya tadi. Akhirnya, ia mengangguk setuju. Mereka pun berjalan ke hutan belakang sekolah, menuju jalan setapak di sana.

Loctus : The Owner Of The Fire - [4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang