Bab XXXIV. Remember

328 61 101
                                    

"Leona... bangunlah! Leona!"

Mata Leona rasanya sangat berat untuk dibuka. Namun ketika terbuka, pandangannya tertuju pada cahaya lampu gantung di atasnya. Cahaya itu begitu menyilaukan matanya sehingga ia terbangun.

Begitu ia hendak beranjak, tubuhnya tertahan. Ia melihat dirinya sendiri. Tubuh, tangan, hingga kaki dan lehernya terikat. Ia benar-benar tidak bisa bergerak. Ia pun mulai panik karena ia tidak tahu di mana dan harus bagaimana.

"Siapapun, tolong! Apa ada orang?!" Leona berusaha memanggil siapapun tapi tidak ada yang menanggapi.

Ia melihat sekeliling. Ia bahkan tidak tahu di mana dirinya. Rasanya sulit bergerak sekarang, ia tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, ia harus lari dari sini.

Kemudian, ia teringat ucapan api itu sebelum pingsan. Lantaran sebelum pingsan, api itu seolah menyuruhnya lari. Ia pun berusaha berkomunikasi dengan api itu, tapi herannya, api itu tidak menjawab.

Siapapun... apakah ada yang bisa mendengarku? Tolong aku... Leona memejamkan matanya. Ia tidak boleh menyerah begitu saja.

Sebisa mungkin, ia mencari celah untuk bergerak. Ikatannya terlalu kencang sampai bergerak sedikit pun, tali itu nenggeseknya hingga lecet. Leona pun berhenti sejenak, mengambil napasnya. Ia mencoba meraih ujung tali yang mengikat tangannya, tapi terlalu jauh.

Sampai ia kaget mendengar pintu terbuka dengan kasar. Ia menoleh dan terkejut melihat Greta di sana dengan para pengawalnya. Senyuman licik Greta kala itu membuat Leona tahu apa yang direncanakan Greta tampaknya berjalan sesuai keinginannya.

"Greta, kau ini..." Leona mencoba menarik tangannya. Ia tidak lagi menunjukkan kehormatannya pada Greta.

Greta terdecak kasihan melihat Leona, atau lebih tepatnya mengejek. "Lihatlah dirimu, begitu rapuhnya menghadapi semua ini. Aku tahu betaap beratnya menjadi dirimu." Tangannya terangkat dan membelai wajah Leona. "Betapa beratnya menahan semua beban itu."

Leona memalingkan wajahnya. "Kau tidak tahu apa-apa."

"Tentu aku tahu." Greta pun menyingkir.

Leona menahan napasnya melihat salah satu penjaga membawa sebuah toples kaca yang berisi Api Abadi Phoenix. Sontak, Leona tidak bisa menahan dirinya untuk tidak beranjak. Namun ia sadar bahwa posisinya tidak mungkin memberontak.

"Nah, setelah beberapa saat mencari... dan mencari... akhirnya kami menemukannya. Menangkapnya pun perkara yang cukup sulit. Namun kami berhasil. Tidakkah api ini sangat cantik?" Greta mengambil toples itu dan menunjukkannya pada Leona.

"Leona! Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bisa lari."

Tidak apa-apa. Leona menarik napas dan menghelanya pelan. "Jadi, sudah berapa lama kau menyimpannya?"

Greta berpikir. "Setelah Eno membunuh Mr. Pevill."

"Eno tidak akan melakukan hal itu!" Leona pun kembali memberontak.

"Ah! Ah! Ah! Tidak bisa!" Greta mendecakkan lidah sambil menunjukkan telunjuknya. "Mana mungkin dia tidak melakukannya? Para pengawal yang mengawal kalian mengonfirmasi hal itu padaku dan juga sang raja."

"Aku tidak mempercayaimu, sama sekali tidak." Leona membantah.

Greta mendesah. "Ah, ya sudah kalau tidak percaya." Ia memberikan api itu lagi pada pengawalnya dan satu pengawalnya menghampiri sambil memberikan sebuah suntikan berisi cairan bening yang berkilau. Firasat Leona mendadak tidak enak.

"Apa itu?" tanya Leona.

"Ini adalah karya baru. Ramuan ini akan membuatmu tunduk padaku, pada kami. Walau sebenarnya, belum pernah dicoba." Greta berujar lalu menyentuh dagu Leona. "Sayang sekali gadis cantik sepertimu harus berakhir bila akhirnya tidak baik. Aku menyayangkannya. Andai aku memiliki wajah sepertimu untuk menggoda semua pria."

Loctus : The Owner Of The Fire - [4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang