Bab X. Punishment

597 79 141
                                    

"Apa? Kau pasti gila! Api itu memintamu?"

Leona mengangguk di hadapan teman-temannya. Setelah bangsa Kegelapan berhasil dikalahkan oleh Seo Byul, gadis itu dibawa Warren ke kediamannya untuk dinetralisir. Mereka sendiri menuju ruang ramuan untuk berbicara mengenai api itu lagi. Namun Eno dan Caroline angkat kaki karena harus memenuhi panggilan pemimpin mereka.

"Yah, aku tak punya pilihan lain. Yang harus kupilih, ambil, entah sekarang atau tidak," balas Leona kemudian duduk di sofa.

Vinnie menggeleng. "Kau gila, ya? Api itu membuatmu menjadi bukan seperti dirimu!"

"Ya! Kasarannya, kau saja tidak mengenal Kai dan Vinnie," cerocos Arie.

"Tapi jika api itu jatuh ke tangan bangsa Kegelapan, itu juga berbahaya!" Leona nyaris memekik jika tidak menahannya. Ia menutup mulutnya sejenak lalu menunduk. "Berbahaya sekali."

Kai mengangguk. "Ya, memang berbahaya. Namun, bukan berarti kamu, 'kan?"

Leona menyipitkan mata ke arah Kai. "Kalau begitu, apa kau bisa mendengar suara api itu?"

Kai terbungkam seketika. Lelaki itu pun duduk tanpa berkata apa-apa lagi. Leona menyandarkan punggungnya di tembok sambil menyilangkan kedua tangannya depan dada.

Amanda pun mendengus lalu berdiri. "Oke, apa ada cara lain?"

"Ada, mungkin meminta orang lain yang bisa mendengarkan api itu," saran Tony.

"Cara aneh." Vinnie menceletuk.

Kai pun keluar dari ruang ramuan. Mereka hanya diam melihatnya. Aiko ada di sana pun ikut keluar. Ia tahu pikiran Kai saat ini sangat rumit, bahkan Leona pun tidak bisa menenangkannya. Namun ia memiliki informasi yang kira-kira diinginkan Kai.

Lelaki itu diam menatap langit malam di lantai lima. Aiko memandangnya sejenak sebelum menarik napas panjang. Ia mendekat, lalu berdeham.

"Ada apa?" tanya Kai dingin, tanpa menoleh sedikitpun.

"Kau tidak apa-apa?" Aiko bertanya.

Kai mendengus. "Apa menurutmu aku tampak baik-baik saja?" Ia bahkan tidak berniat untuk bicara. "Ada sesuatu yang penting?"

Giliran Aiko mendengus lalu berdiri di sebelah Kai. "Ada, tentang api itu."

"Apa itu? Apa api itu bisa menerima orang lain selain Leona?" tanya Kai penasaran.

Aiko terdiam beberapa saat, lalu menjawab dengan ragu, "A-aku tidak yakin soal itu."

Kai menghela napas panjang. "Jadi, tidak ada harapan."

Aiko memberanikan diri menatap Kai walau hanya setengah wajah. "Apa... kau baik-baik saja?"

Hening sesaat. Kai menggeleng pelan. "Aku tidak yakin."

"Dengar, api itu akan terus meyakinkan Leona. Bangsa Kegelapan juga sudah menyerang kita. Aku pikir kita harus bertindak," ujar Aiko.

"Bagaimana?" tanya Kai.

"Dengan bantuan sekolah. Aku tahu Greta Hubert tidak bisa diandalkan, tapi murid-murid di sini adalah Achler," kata Aiko mengingat sekolah ini memang bertujuan untuk melatih Achler.

Kai mengembuskan napas. "Ya, memang. Tapi aku benci merisikokan sekolah ini."

Aiko menatap Kai tajam lalu tiba-tiba menangkup wajah Kai sambil menariknya. "Oke, kau benci. Tapi kau harus ingat, Greta Hubert sudah melarang penggunaan senjata. Kalau untuk murid seperti kita dan anak-anak kelas tiga sekarang tidak masalah. Namun anak-anak kelas dua dan satu belum pernah diajarkan pertarungan secara langsung. Kau tahu, 'kan, bangsa Kegelapan sudah berani menyerang?"

Loctus : The Owner Of The Fire - [4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang