Bab XXXIII. Get Into A Trap

384 53 81
                                    

Hujan sudah mulai turun. Amanda menatap kosong ke arah jendela dan mendesah. Ia khawatir Leona masih di sana kehujanan. Ia berpikir seharusnya ia tidak membiarkan Leona pergi.

Vinnie tampak mendekati Amanda dan ikut duduk di kasurnya. "Masih menunggu Leona?"

Amanda mengangguk. "Vin, bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk?"

"Jangan bicara begitu. Leona pasti kembali." Vinnie berusaha tenang walau sebenarnya ia juga panik. "Kalau dia memang tidak kembali, nanti kita cari, ya. Jangan beritahu Arie ataupun Tony."

"Baiklah, Vin." Amanda tersenyum kecil.

Sementara itu, hujan turun semakin deras. Leona masih duduk di pohon tadi, tidak bergerak. Rasanya ia baru saja mendengar suara Kai dan lelaki itu sepertinya dalam keadaan baik. Walau akhirnya lelaki itu pergi lagi.

Ia hanya tidak bisa bergerak. Ia terlalu lemas. Rasanya senang sekaligus sedih bercampur menjadi satu. Penasaran pun timbul di pikirannya ke mana sebenarnya Kai pergi. Ia pun mengeluarkan ponselnya untuk mengetikkan pesan pada Amanda.

"Aku bertemu dengan Kai... atau lebih tepatnya kami deketan tapi aku enggak bisa lihat dia. Dia minta aku nutup mata, bahkan dia nutup mataku. Sama sekali aku enggak bisa lihat dia. Tapi kalau denger dari suaranya, dia enggak apa-apa."

Leona berhenti mengetikkan pesan itu lalu mengirimnya. Ia pun memasukkan ponselnya lagi ke saku celana walau basah. Ia tidak khawatir soal ponselnya karena itu anti air. Ia hanya khawatir ia tidak ingin beranjak dari sini.

Satu jam pun berlalu. Leona membeku di sana sendirian. Ia tak tahu kalau Kai masih mengawasinya di balik tudungnya. Lelaki itu tampak bersama Aiko di sebelahnya, sambil mengawasi Leona.

"Kenapa kau menemuinya?" tanya Aiko kesal. "Akhirnya seperti ini."

"Aku tak sengaja melihatnya sedang dikejar. Itu refleks!" kata Kai, kesal karena Aiko tetap memarahinya.

Aiko mendengus. "Alasan saja!" Ia pun menarik lengan Kai. "Ayo, cepat! Jenner menunggu!"

Kai ingin lebih lama. Namun waktu tidak berkehendak padanya. Rasanya ia ingin memeluk Leona saat ini juga. Ia pun beranjak dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak berbalik menatap Leona.

Sementara itu, Leona masih sendirian. Jejak air matanya bercampur dengan air hujan, membuatnya bahkan tidak bisa membedakan mana air mata dan mana air hujan. Namun ia juga berpikir tidak ada gunanya berlama-lama di sini.

Ia pun beranjak dan berjalan dengan lemas menuju sekolah. Hujan bertambah deras saja, membuatnya sedikit terhambat mencapai sekolah. Udara dingin serta air sudah menusuk hingga tulangnya sampai ia yakin jika ia masuk angin.

Ia melihat tembok pembatas dan hendak memanjatnya. Namun karena licin, pegangannya terlepas dan ia terjatuh. Saat itulah seseorang berteriak ke arahnya dan ia yakin sekali mereka adalah penjaga sekolah.

"Siapa kamu?!" tanya salah satu penjaga itu gusar.

Begitu mereka melihat Leona, barulah mereka membantu Leona berdiri. Penjaga yang tadi memanggilnya mendengus. "Karena keluar malam, kau harus menghadapi kepala sekolah. Mari ikut."

Leona sudah tidak bisa apa-apa lagi. Ia pun mengikuti penjaga itu sampai ke ruangan Greta. Barulah ia mulai bersin dan batuk begitu sampai. Tubuhnya menggigil dan bibirnya mulai membiru. Kulitnya mendadak menjadi sangat pucat.

Saat pengawal Greta membolehkannya duduk, tubuhnya sudah tidak kuat menahan bobotnya sendiri. Ia pun ambruk dan pingsan. Namun sebelum pingsan, ia mendengar suara api itu pelan.

"Lari..." Suara itu perlahan mengecil hingga menghilang.

***

Di asrama, Amanda bergetar membaca pesan Leona. Lantas ia nyaris menjatuhkan ponselnya. Namun Vinnie sigap menahannya. Gadis bermarga Yokohama itu bingung dengan Amanda yang tampak membeku.

Loctus : The Owner Of The Fire - [4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang