DELAPAN BELAS: Rahasia

221 47 4
                                    

Bu Nino POV


Dari awal, sejak Bayu datang siang tadi, aku sudah paham kemana arah tujuannya akan menuju. Apalagi setelah Lydya keluar dari ruang bawah tanah Indira. Pada akhirnya semua rahasia memang harus diketahui, entah dengan cara terpaksa ataupun diceritakan baik-baik.

Baru saja ia pulang. Padahal sudah pukul 1 pagi. Melihatnya yang bahkan tak tahan lagi untuk menunggu pagi, Aku tahu ini pasti berat baginya. Dari awal juga aku sudah tahu kalau kenyataannya memang sungguh berat. Anak itu, entah kenapa nasibnya harus bertemu dengan Indira. Kalau saja ia tak pernah bertemu dengannya, tak perlu ia menapati gangguan dari adikku. Selama ini ia tinggal di rumah seorang pembunuh, entah bersamaku atau adikku.

Rasanya mataku mulai panas, dan segera berakhir dengan sesenggukkan di pojok warung. Terlalu pagi untuk menangis. Udara dingin dan malam yang sepi yang jadi saksi tangisku.

"Apa yang harus ku lakukan?" tanyaku di sela-sela tarikan napas. "Semua salahku, sejak awal harusnya aku melaporkannya pada polisi, atau membiarkannya mati di tangan Ratma"

Aku yang terlalu memanjakan Indira hingga ia menjadi tak terkendali seperti ini. Aku yang harus mengakhiri ini semua. Tapi entahlah, aku benar-benar tak tahu bagaimana cara mengakhiri ini semua. Harusnya ada satu solusi yang tak merugikan siapa pun.

***

Langkahku begitu gontai, apalagi setelah menangis hingga tak tidur memikirkan semua kemungkinan yang bisa kuambil untuk menyelesaikan masalah ini. Andai aku bisa setega itu membunuh adikku sendiri, mungkin semua itu tak akan berakhir seperti ini. Dan, hari ini aku ke kantor Indira lagi. Meskipun ragu dengan hasilnya, tapi memintanya berhenti baik-baik tetap menjadi langkah pertamaku.

Indira memperhatikanku yang memang jadinya jauh lebih sering mengunjunginya. Dari 4 bulan sekali. Dan kini, belum sampai beberapa hari, aku sudah datang lagi.

"Kenapa kemari lagi kak?" tanyanya.

Aku memperhatikan baju ungu muda yang ia kenakan itu. Melihatnya lebih banyak memakai pakaian sesuai dengan dirinya sendiri rasanya menyenangkan, ketimbang bertahun-tahun melihatnya berpura-pura sebagai seorang laki-laki.

"Aku mau teh" ucapku segera mengambil duduk. Ia hanya mengangguk, lalu berjalan ke belakang.

15 menit berlalu tanpa saling bersuara. Indira berulang kali melihatku mengalihkan pandangan ke cangkir teh yang terus-terusan ku seruput itu.

"Kau mau bicara apa sebenarnya?" tanyanya lagi, namun terdengar sangat kesal.

Ku tarik napas panjang dan akhirnya menurunkan cangkir teh itu ke meja. "Ayo kabur dari sini!" ujarku.

"Maksudmu?"

"Ayo ke tempat yang jauh, kita bisa memulai semuanya dari awal" ujarku. "Kita cari tempat yang tak ada seorangpun yang mengenal kita, atau ganti identitas saja sekalian"

"Aku nyaman disini" jawabnya dengan senyuman datar.

"Tak bisakah kau menghentikan semuanya?" jelasku. "Semua, semua hal bodoh yang kau lakukan ini"

Wajah Indira seketika berubah memerah mendengar ucapanku tadi. "Hal bodoh?" tanyanya bersungut-sungut. "Bukankah kau dulu yang paling mendukungku melakukan ini?"

"Itu.., itu salahku, aku akui" ujarku. "Tapi ini sudah berbeda"

"Apanya?"

Aku terdiam.

"Oh, berbeda karena dulu orang yang ku bunuh adalah orang-orang yang kau benci" jelas Indira. "Dan sekarang, targetku adalah orang yang kau sukai?"

"kau tahu darimana?" tanyaku kaget.

"Pertama, Daya, perempuan yang merebut pacarmu" ujar Indira. "Lalu tiga temannya yang merundungmu"

Aku menunduk, malu. Semua yang ia ucap barusan benar-benar terasa menyakitkan di telinga dan kepalaku.

"Lalu pacarmu, Dimas dan teman-temannya" kata Indira tak berhenti menimpali. "Kau pikir aku tak tahu siapa mereka semua"

"Maaf"

"Karenamu aku menikmati semuanya, rasa takut dan gugup saat pisau dan gergaji itu menembus tulang, aku sudah menikmatinya, kaau tahu?"

"Tapi itu bukan kali pertama kau melakukannya" jelasku. Rasanya ada yang tak benar disini. Sebelum aku memintanya membunuh, dia sudah beberapa kali melakukan hal itu. "Jadi bukan aku penyebabmu hingga segila ini"

"Dan kau memanfaatkanku, kak"

"Tapi aku hanya memintamu melakukannya untuk beberapa orang, bahkan hanya seperempat dari jumlah korbanmu" jawabku. "Kenapa aku harus bersalah atas kelakuanmu?"

Kami saling beradu pandang, kesal dan geram yang akhirnya bisa saling kami tumpahkan.

"Makanya.." katanya terhenti dalam jeda yang cukup panjang. "Biarkan aku menyelesaikan ini"

"Tapi untuk apa?" ujarku.

"Untuk berhenti" jelasnya. "Aku ingin berhenti setelah semuanya selesai"

"Maksudmu dengan berhenti?"

"Biarkan aku menyelesaikannya, mungkin setelahnya aku bisa benar-benar berhenti"

Matanya memandang jauh, jauh seperti tak berada disini. Seperti ia benar-benar menyesali semua perbuatannya selama ini.

"Tapi kenapa harus bayu?" tanyaku tak paham.

"Karena kau terlalu menyayanginya" jawabnya separuh membentak. "Jujur saja, kau kan yang melepaskan mereka dari ruangan bawah tanahku waktu itu"

Aku mengangguk pelan dan ragu. "Tapi aku juga menyayangimu, kau adikku" ucapku mencoba menjelaskan.

"Lantas kenapa kau membiarkanku seperti ini?"

"Apa maksudmu membiarkan?" Tanyaku tak paham. "Aku bahkan memintamu tuk berhenti, aku menyelamatkanmu berkali-kali agar kau punya kesempatan berubah"

"Aku sudah ingin mati waktu itu" jelasku. "Kau tahu, aku juga lelah"

Aku diam makin tak paham dengan semua pembicaraan ini.

"Ku pikir, ketika Ratma membunuhku, aku bisa berhenti dari semua kebiasaan dan obsesi ini" jelasnya. "Tapi kau malah membuatku terjebak dalam hidup ini lagi"

Ia menjerit, sekencang-kencangnya. "Kau yang lebih jahat dariku, kak"

Dan untuk pertama kalinya aku melihat air mata mengalir di wajah Indira. Wajah dingin yang ku pikir tak akan pernah merasakan kepedihan itu.

Aku tak tahu, apa aku benar-benar tak mengenal siapa adikku. Dan, semakin aku berusaha menangkap semua yang sebenarnya terjadi, rasanya benar apa yang ia katakan, akulah yang pantas disalahkan. Aku yang membuatnya semakin menjadi monster, aku yang tak menyadarinya.

***

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang