DUA PULUH DUA

188 42 2
                                    

Senja Bayu POV


Lydya duduk memeluk dua kakinya yang ditekuk, menghadap ke arah tembok. Sementara aku masih duduk menyamping, menyandarkan tubuh pada jeruji besi. Ya, kami harus menginap di sini malam ini. Sejak kami dimasukkan ke dalam sel, Lydya sama sekali tak berbicara sepatah kata pun.

Rencana kami benar-benar berantakan. Tapi kalau berusaha merunutkan kembali apa yang sebenarnya kami alami, jelas posisinya kami dijebak. Bagaimana mungkin Indira bisa sesiap itu dengan kedatangan kami. Apalagi dengan kondisi ruang bawah tanahnya yang benar-benar bersih. Aku percaya jika Lydya tak mungkin berbohong.

"Apa Lilia berhianat pada kita?"

Lydya tiba-tiba memutar posisi duduknya, menolah padaku. Tatapannya tajam, namun jelas bekas air mata masih ada di wajahnya. Aku kaget melihatnya, karena dari tadi kupikir ia hanya terdiam, tak sampai menangis.

Harusnya aku tak membawanya dalam rencana ini.

"Maksudmu berhianat?" Tanyaku bingung mencoba melanjutkan pertanyaannya tadi setelah dijeda oleh kekagetanku.

"Ya, lihat saja sekarang" ujar Lydya meninggi. "Dia bahkan tak bisa dihubungi, menghilang begitu saja"

"Tapi bagaimana kalau ia menghindari telpon kita karena takut"

"Tapi bukankah tetap masih ada kemungkinan kalau yang ku katakan itu benar?" timpal Lydya menekan.

"Entahlah, tapi dari awal kan kita sudah sepakat bahwa tak ada orang yang benar-benar bisa dipercaya" jawabku.

Jujur saja, untuk kondisi saat ini memang sangat mudah mengambil kesimpulan bahwa Lilia memang berhianat dan membantu menjadi mata-mata untuk Indira. Tapi tetap saja masih ada kemungkinan kalau gadis itu memang ketakutan saat ini sehingga tak bisa dihubungi. Apalagi setelah semua yang terjadi ini.

"Bisa jangan ribut?" tanya seorang polisi sambil memukul-mukul besi jeruji di dekatku. "Kalian itu ditangkap karena masuk ke rumah orang tanpa izin"

"Tapi pak, gadis yang melaporkan kasus ini adalah pembunuh sadis" ujar Lydya.

Mataku melotot ke arah Lydya. Bukankah kami sudah sepakat untuk tidak melibatkan polisi dulu tentang hal ini.

"Kalian ada buktinya?" tanya polisi tersebut.

Lydya menggeleng. Kami memang sama sekali tak punyai bukti baik foto, video ataupun rekaman suara. Kami hanya tahu kalau Indira pembunuh, hanya itu saja.

"Nah, coba kalian pikir lagi, bagaimana mungkin kami bisa mempercayai ucapan seseorang yang baru saja membobol rumah orang lain" jelasnya.

"Urus saja dirimu sendiri" kata polisi itu, lagi.

Aku buru-buru menaruh telunjukku ke depan bibir, berusaha memberi isyarat agar Lydya berhenti berdebat dengan polisi itu.

"Baik pak, kami tak akan ribut lagi" ucapku setelah Lydya mengangguk atas permintaanku untuk diam.

Polisi itu menjauh dari kurungan kami dan berjalan ke meja kerjanya. Sekitat 5 langkah dari kami.

Aku beringsut pelan ke arah Lydya.

"Kau kan sudah janji untuk tidak membicarakan ini pada polisi terlebih dulu" ucapku pada Lydya dengan pelan.

"Habis rasanya kesal sekali" jawabnya. "Kita ini sebenarnya korban atau pelaku sih?"

"Udah, kau istirahat saja" ujarku.

***

TUNGGG....TUNNGGG...

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang