"Jungah tahu jika kita berkencan, Jong."
"... bagaimana mungkin kalian melakukan ini padaku?" Ucap Jongin setelah terpaku beberapa saat.
Sehun berlutut tepat di hadapan Jongin yang sudah terduduk lemas di sisi ranjang. "Bisakah kita melupakan ini? Aku sudah memilihmu Jong. Apa yang aku lakukan dengan Jugah hanyalah sebuah kesalahan bodoh. Dan aku berjanji hal seperti ini tidak akan pernah terjadi untuk kedepannya."
"Apa aku terlihat begitu bodoh bagi kalian? Kalian seharusnya tidak mempermainkanku seperti ini!"
"Aku minta maaf Jongin. Aku sudah benar-benar serius denganmu. Aku ingin menikahimu." Jongin menatap Sehun dengan mulut setengah terbuka. "Kau tidak perlu membujukku dengan kata 'pernikahan' mu Sehun. Kau malah semakin membuatku kesal."
"Kalau begitu, beritahu aku cara agar kau bisa memaafkanku, Jongin. Aku sungguh menyesali perbuatanku padamu selama ini."
"Beri aku waktu Sehun. Aku akan meluruskan pikiranku, dan memberimu jawaban yang tepat nanti." Jongin bangkit dari duduknya. Mengambil tas kerjanya lalu pergi dari rumah Sehun tanpa menoleh sedikitpun.
Jongin memilih untuk berjalan kaki ke rumahnya, mengulur waktu selama mungkin agar seluruh anggota keluarganya tertidur sehingga ia tidak perlu menjelaskan kepada mereka alasan mengapa mata serta wajahnya sembab seperti itu.
Namun saat sampai di rumah, ia malah menemukan kakaknya yang tengah duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi dan juga laptop putihnya. Melihat itu membuat emosi Jongin kembali naik. Butuh waktu 3 jam untuknya berjalan kaki ke rumah ini. Butuh waktu 3 jam untuknya meredakan emosi, tapi hanya dengan satu detik saja melihat wajah sang kakak, emosi Jongin kembali naik.
"Kau baru pulang?" Jongin tahu suaranya akan bergetar jika ia menjawab pertanyaan Jungah, jadi ia lebih memilih untuk menganggukkan kepalanyanya sebagai jawaban.
"Sudah makan? Aku akan panaskan-"
"Tak perlu. Aku akan langsung tidur saja. Selamat malam." Jungah mengerutkan keningnya saat melihat Jongin yang pergi begitu saja tanpa menatapnya sedikitpun.
"Apa dia ada masalah lagi dengan orang-orang di divisinya?" Jungah pun memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertuda karena kedatangan Jongin tadi.
Nyonya Kim menatap anak bungsunya dengan raut serius. Ia tahu jika semua orang di rumah ini sudah bosan dengan menu sarapan yang ia sajikan, namun melihat Jongin yang hanya mengaduk-aduk supnya benar-benar suatu hal yang baru. Jongin itu tipe pemakan segala biasanya, tapi hari ini anak itu benar-benar berbeda.
"Kim Jongin, kau ada masalah?"
"Tidak juga."
"Lalu kenapa kau tidak memakan sarapanmu?"
"Aku tak nafsu makan saja. Kalau begitu aku pergi bekerja dulu."
Nyonya Kim langsung menarik lengan Jongin hingga pria itu kembali duduk di kursinya. "Berangkatlah dengan kakakmu hari ini. Kemarin dia baru saja membeli mobil baru."
"Aku akan naik bus saja."
"Kau harus berhemat Jongin. Bukankah lebih baik menumpang di mobil kakakmu saja daripada membuang-buang uang untuk naik kendaraan umum?"
"Iya Jong. Lagipula tujuanku membeli mobil itu kemarin agar kita bisa berangkat ke kantor bersama." Jawab Jungah menimpali percakapan Jongin dengan ibunya.
"Mengapa aku tidak boleh mengabiskan uang yang aku hasilkan? Itu hakku!"
"Jongin, ada apa dengan intonasi bicaramu hah? Apa ayah mengajarkanmu untuk bicara seperti itu dengan orang yang lebih dewasa?" Sekarang giliran sang ayah yang bicara.