12. Seorang Abang II

58 30 5
                                    

Rasanya melihat Umara yang gunda gulana bukan hal yang harus dibiarkan. Tapi, Ucul harus buat apa?

Ajak ngobrol? Nanti Ucul yang disemprot. Umara itu cerewet tingkat akut bila dalam kondisi hati yang tidak memungkinkan.

Ajak bermain? Umara itu pemalas bila sedang mood yang hancur.

Diam-diaman? Nah, Ucul yang gak bisa diam!

Ucul harus apa teman-teman?

"Dek? Buka pintunya sayang." Ucul yakin itu bang Ammar, karena hanya bang Ammar lah yang memanggil Umara dengan sebutan sayang. Bikin Ucul meleleh aja, padahal bukan Ucul yang dipanggil sayang.

Ucul melirik Umara yang hanya diam, tumben.

"Dek? Ayo sini cerita sama Abang."

"Sayang, kamu kenapa? Abang ada salah ya?"

"Dek, tolong buka pintunya sebentar. Kita bicara dulu yuk."

"Bang, nanti aja. Mungkin Umara butuh waktu." Nah, Ucul yakin. Ini nih bang Babam, suka jail tapi pengertian.

"Gak, semakin dibiarkan maka semakin dek Umara menjauh. Kamu tau kan, Abang gak suka." Bang Babam hanya bisa mendesah kasar, baik bang Ammar dan Umara sama-sama keras kepala bila dalam kondisi hati yang tidak stabil.

"Dek, buka pintu sekarang!" Namun tak ada sahutan, Ucul yang tak mau Umara di marahin pun mendatanginya.

"Meong."  "Umara kenapa sih? Jangan hanya karena wanita yang mampu merebut perhatian bang Ammar, Umara langsung nyerah. Nyerah itu bukan sifat Umara yang Ucul kenal."

"Lagi males Cul, jangan cari masalah." Nah kan benar, Ucul juga yang disalahkan

"Meong."  "Ayo sini, kita cari masalah. Lebih baik Ucul bermain sama Umara, dibandingkan diam-diam begini. Ucul paling gak mood tau gak sih?!"

"Kamu nih kenapa sih Cul. Saya yang merajuk, kenapa kamu yang cerewet. Mending keluar deh, tapi jangan buka pintu, dari jendela aja keluar sana." Lalu Umara menjatuhkan tubuhnya di kasur dengan kepala yang ditenggelamkan di bantal. "Hiks, bang Ammar gak peka titik!"

Ucul terdiam mendengar isakan tertahan Umara. Apakah cemburu Umara sebesar itu?

Mungkin alasannya bukan hanya cemburu, tapi ada alasan lain. Tapi apa?

Coba aja Umara terbuka, Ucul jadi bisa menengahi. Lah ini, titik terang masalahnya aja Ucul tak tau, gimana mau memberikan solusi, iya gak?

"Dek, Abang mau pergi. Kamu mau apa?" sahut bang Ammar kembali. Ternyata bang Ammar belum menyerah juga, kasih sayangnya pada Umara patut diacungi jempol.

Umara tetap diam. Tidak seharusnya Umara mengacuhkan bang Ammar, apapun kesalahannya, Ucul yakin pasti tidak disengaja. Kasih sayang bang Ammar sangatlah besar pada Umara. Sangat besar, semalam Ucul sangat memahami perasaan seorang Abang terhadap adik perempuannya.

"Dek? Kamu kenapa? Abang ada salah apa sama kamu sayang? Jangan diamkan Abang begini, Abang gak suka, kamu tau itu kan?" Lagi Umara hanya diam diiringi tetesan mata yang mengucur. Ucul tau bila Umara pun merasakan sakit yang dirasakan bang Ammar, tapi sikap Umara itu tak bisa di diam-in.

"Dek, besok Abang akan pergi ke Jawa, ada tugas disana. Kamu gak mau peluk Abang? Gak mau sesuatu untuk Abang bawa oleh-oleh, hm?"

Ucul langsung sigap. Bang Ammar mau keluar kota? Kota yang jauh disana? Beh, bakal rindu dong!

"Hiks, kok Abang mau pergi sih!" Umara kini duduk sambil membersihkan wajahnya dengan handuk mini, lalu bangkit dan langsung berjalan cepat. Umara memeluk bang Ammar dan menangis tersedu, "Abang jahat tau gak! Umara udah nunggu di rumah, tapi saat Umara keluar sama Ucul, Umara lihat Abang sedang menghabiskan waktu sama cewek lain. Umara gak suka!"

Ucul and FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang