17. Penculikan

627 39 2
                                    

So, guys ... sebenernya waktu kemarin update chapter ini, ada sebuah kesalahan. Hiks, mohon maaf ya! Sekarang udah aku benerin kok(╥﹏╥)

Selamat membaca, Sahabat!

****

Shana berjalan ke arah tangga. Tangan kanannya memegang sebuah botol minum dan tangan kirinya memegang sepiring buah mangga yang sudah ia kupas.

Shana yakin, saat ia sampai di kamar Gevania, pasti Gevania akan senang karena dibawakan buah mangga kesukaannya.

Setelah melewati begitu banyak anak tangga, Shana melihat ke arah kamar Gevania. Pintu kamarnya terbuka. Ah, ia jadi merasa bersalah. Shana langsung mempercepat langkahnya menuju kamar Gevania.

Saat sampai di dalam kamar, Shana tak menemukan batang hidung Gevania. Kamarnya kosong. Yang ia lihat sekarang adalah kasur yang berantakan juga beberapa barang yang tadinya tersusun rapi, kini berantakan.

"Jangan-jangan .... " gumam Shana kemudian menyimpan piring juga botol minum di atas meja.

"Enggak, deh. Enggak mungkin!" Raut wajahnya terlihat panik. Shana berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar Gevania, berharap ia menemukan gadis itu. Namun kenyataannya, Gevania tak ada di dalam kamar mandi.

"Vania? Kamu di mana? Jangan main kucing-kucingan, deh!" ucapnya setelah mencari Gevania ke kamar mandi. Kemudian, kakinya melangkah lagi menuju ruang pakaian di dalam kamar Gevania. Sekali lagi, Gevania tak ada.

"Vania?" panggil Shana, namun tetap tak ada sahutan dari Gevania.

"Ya ampun! Apa yang udah gue lakuin!" serunya sambil memegang kepala panik. Bagaimana ia bisa seceroboh ini, sih?

Jantungnya berdetak kencang sekarang. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Ia terus mengumpat di dalam hatinya.

Di bawah, orang-orang sedang berusaha memadamkan api, sedangkan ia di sini? Malah menambah masalah!

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Shana menggigit kuku telunjuknya. Apa ia harus bilang kepada Geovano? Atau ia harus cari Gevania sendi—

"Ayam!" pekik Shana dengan raut wajah terkejut. Seseorang menepuk pundaknya dari arah belakang.

Orang itu tertawa pelan. "Gue manusia, kali."

"Kak Vano!" seru Shana, bibirnya memucat. Astaga! baru saja ia ingin berbicara kepada Geovano, pemuda itu sudah lebih dulu di belakangnya.

"Lo kenapa, sih? Kayak orang ketakutan gitu?"

Dengan jantung yang berdegup kencang, Shana memberanikan diri untuk berbicara. "Ge-Gevania," cicit Shana kemudian memejamkan matanya takut. Ini kesalahannya, ia harus berbicara mengenai Gevania. Apa pun yang akan terjadi nanti, ia harus terima.

Mendengar nama adiknya, raut wajah Geovano langsung berubah. "Gevania, dia di mana?"

Jantungnya semakin berdegup kencang. Ia menunduk. "Gevania ... gak ada di sini," ucapnya pelan. "Tadi .... " Shana langsung menceritakan apa yang terjadi. Setelah menceritakan itu semua, Shana menunduk. Ia benar-benar merasa bersalah.

"Lo itu apa-apaan, sih?!"

"Lo bisa gak, sih, jagain adik gue?"

Shana masih menunduk, mengangguk ketakutan. Ia tak berani menatap wajah Geovano, baru kali ini ia melihat Geovano semarah ini.

"Kenapa lo bisa seceroboh itu?!"

"Bukannya kelarin masalah, lo malah nambah masalah!"

"Sial!"

GeovanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang