Hai. Selamat membaca!
Deringan ponsel begitu menusuk telinga Geovano. Pemuda itu langsung mengerang mendengar ponselnya yang berbunyi nyaring. Dengan mata setengah terbuka dan kondisi yang sadar tak sadar, ia melihat siapa yang meneleponnya di pagi buta seperti ini.
Shana.
Duh, gadis itu. Ada apa lagi gadis itu meneleponnya? Semenjak kasus penculikan seminggu yang lalu, gadis itu semakin gencar mendekatinya. Mengganggu hari-harinya.
Dengan malas, Geovano mengangkat telepon dari Shana. "Hm?" gumamnya, matanya tertutup kembali.
"KAK VANO!"
Sontak, kedua mata yang tertutup kini terbuka, dan ponsel yang tadinya menempel di telinga kini ia jauhkan. Geovano berdecak kesal. Suara gadis itu benar-benar menusuk ke gendang telinganya. Ck, pagi-pagi buta begini, telinganya telah ditusuk dengan suara-suara yang membuat tidurnya terganggu.
"Lo ganggu tidur gue, njir," balas Geovano dengan suara serak. Alih-alih, bukannya meminta maaf, Shana malah menyuruh Geovano mandi.
"Lo gila? Gue? Mandi? Sekarang?" omelnya, kemudian matanya melirik ke arah jam di dinding; pukul 03.10 pagi? Ini masih terlalu pagi untuk mandi. Apalagi cuaca akhir-akhir ini sedang dingin-dinginnya, kayak sikap Eca kepadanya, eh tuh kan! Jadi inget Eca!
Shana mulai menjelaskan apa yang akan dilakukannya hari ini. Pagi ini ia harus segera berangkat untuk melakukan pemotretan ke Bandung, tepatnya di sebuah villa. Fotographernya meminta Shana agar sampai di tempat lokasi sebelum pukul 06.00., karena foto yang akan diambil harus dalam keadaan sejuk ditemani pemandangan yang indah.
"Gue gak bisa," tolak Geovano mentah-mentah dan mematikan panggilannya. Ya kali, ia harus rela mandi pagi hanya karena seorang gadis yang sama sekali bukan pujaan hatinya. Ya kalau Eca boleh, sih, pikirnya kemudian menarik selimut dan melanjutkan tidur. Ah, hangat sekali.
Baru beberapa detik ia memasuki alam mimpi, ponselnya kembali berdering, parahnya ia menyimpan ponsel tepat di samping telinganya. Tanpa berpikir panjang, Geovano langsung melempar asal ponselnya yang terhitung belasan juta itu. Ah, ia tak peduli tentang harga. Toh, ia juga sudah bosan dengan warna ponselnya.
Benar saja, dering ponselnya mulai tak terdengar. Dengan mata yang terpejam, Geovano tersenyum puas. Syukurlah ponselnya sudah rusak. Jadi, ia tak perlu lagi mendengar Shana yang meneleponnya.
Satu menit kemudian, ponselnya kembali berdering. Geovano merutuk dalam hati. Ini ponselnya yang tahan banting atau dirinya yang kurang keras melempar? Dengan gerakan cepat ia langsung menutup telinganya menggunakan bantal. Namun, ternyata tidak semudah itu. Ponselnya terus berdering dan semakin keras suaranya.
"ARGH!" teriaknya frustasi, kemudian bangun dari tidurnya untuk mencari ponselnya yang entah ia lempar ke mana.
Setelah dapat, ia langsung mengangkat panggilannya. "Apa sih, Na?!" bentaknya.
"Kak Vano, temenin dong .... " Bisa terdengar di seberang sana, kalau gadis itu merengek sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Bisa gak, Sha? Kalau gak bisa, gapapa. Biar Papa aja yang anterin dan batalin meeting Papa."
"Eh iya, Pa. Bentar a—"
"Gue mandi sekarang."
***
"Di depan, belok kiri, Kak."
Geovano mendelik mendengar arahan Shana. Well, setelah ia mendengar di telepon bahwa Elza rela membatalkan meeting-nya demi mengantar anak gadisnya melakukan pemotretan, Geovano langsung mandi. Ia paham betul, bahwa meeting itu penting. Apalagi dengan klien perusahaan. Itu mengancan perekonomian dan juga harga diri sebuah perusahaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geovano
Teen FictionGeovano Albara Sandi atau yang akrab disapa Opan. Dia tampan dan tajir. Salah satu anggota geng Asgar yang terkenal pecicilan dan sering membuat para gadis histeris. Ciri khasnya yang mencolok sebenarnya hanya untuk mengikis rasa rindunya terhadap s...