Minggu adalah hari yang paling tepat untuk melepaskan segala penat. Sebagian orang memanfaatkan hari ini untuk berlibur atau bersantai dirumah.
Sebagian lagi melepas penat dengan pergi ke pantai atau puncak. Bagi beberapa murid yang suka membaca pasti mereka akan menyerbu toko buku atau perpustakaan.
Tapi, tampaknya tidak ada hal yang menarik untuk dilakukan oleh sesosok remaja mungil yang asyik memeluk lututnya disudut kamar.
Netra indahnya terfokus pada ponsel yang tergeletak diatas lantai yang menampilkan tayangan sekilas sebuah keluarga yang tengah berlibur di pantai.
Bibirnya tanpa sadar ikut tersenyum saat melihat sosok wanita paruh baya yang masih tampak cantik tengah tertawa. Lalu saat tayangan tersebut habis maka tangan kurusnya pun mengulangi lagi video tersebut.
Terus mengulangi tanpa merasa bosan sedikit pun. Saat tengah asyik-asyiknya tiba-tiba ponsel miliknya padam. Batrainya habis. Harus segera di charger kembali.
Tidak ada niatan dalam dirinya untuk bangkit meski tau tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
Netra indahnya kini mengedar memperhatikan seisi kamar yang gelap. Meski hari sudah siang, ia tidak ada niatan untuk menyibak kain jendela. Seolah kegepalan lebih menyenangkan untuknya.
Bibirnya mulai bersenandung kecil guna mengisi kekosongan dan kegelapan di sudut hatinya.
Wisangga Gara Palpawenta. Remaja berumur 15 tahun yang memiliki netra indah itu. Wajahnya pucat serta matanya sayu. Meski begitu pendingin ruangan dikamarnya tetap dinyalakan. Padahal jelas-jelas Gara sudah menggigil saat ini.
Waktu pun terus berlalu bersama dengan Gara yang mulai bangkit lalu berjalan dengan pelan keluar dari kamar.
Sempat netranya melihat kondisi sekitar yang terlihat begitu sepi. Pintu kamar yang berada tepat didepan kamarnya pun tertutup rapat.
Gara pun menghela nafas pelan lalu berjalan menuruni tangga menuju ruang tengah. Mendudukkan dirinya di salah satu sofa besar yang terasa nyaman.
Gara memandang jam yang ada dinding lalu seketika dirinya sadar bahwa ia telah melewatkan makan siang. Tapi, setik selanjutnya senyumnya kembali terukir.
Ada harapan dalam hatinya bahwa salah satu dari keluarganya akan pulang lalu membawakan makanan kesukaannya, seperti dulu.
Sambil menunggu dalam hening, Gara kembali bersenandung. Rumah besar ini tampak dingin kala hanya dirinya yang hadir disini.
Senyumnya merekah saat mendengar suara mobil yang memasuki pekarangan rumah. Sontak saja dirinya bangkit lalu berjalan menuju pintu utama dan membukanya.
Benar saja, kakak tertuanya tampak turun dari mobil dengan menenteng jas dan juga tas kerjanya. Wajahnya tampan hanya saja ekspresinya tampak datar.
Namanya adalah Asyam Zhafran Nadigra. Asyam merupakan putra sulung yang sudah berumur 25 tahun. Di umurnya yang sekarang Asyam sudah dipercaya oleh Indra, ayah mereka, untuk memegang salah satu perusahaan milik keluarga.
Asyam tipe orang yang tidak banyak bicara dan irit senyum. Namun, sosoknya hangat pada keluarga, setidaknya dulu begitu. Sebelum masalah itu hadir dan sosok Asyam menjadi tidak tersentuh.
"Kakak!" pekik Gara yang membuat sosok Asyam berhenti sekilas dan memberikan tatapan tajamnya pada Gara.
"Ngapain?"
Gara menggeleng seraya tetap mempertahankan senyumnya.
"Gara cuma lapar, kakak bawa makanan kan?" tanya Gara meski dirinya dapat melihat selain tas kerja dan jas tidak ada apapun lagi yang dibawa kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Huis (END)
Teen FictionHuis dalam bahasa Belanda artinya adalah "rumah". Gara hanya sosok remaja mungil yang rindu kehangatan dan kasih sayang. Setelah Ayah dan Bunda bercerai dan kini telah mempunyai keluarga baru masing-masing, sosok Gara lah yang menjadi terbuang. Tid...