"Uda dek mending istirahat aja deh biar ini kakak yang beresin."
Gara menggeleng lalu memaksakan diri untuk membereskan bagian yang tidak diperlukan.
Fran yang melihatnya merasa jengah. Belum sembuh total tapi tetap memaksakan diri untuk bekerja.
Padahal setau Frans uang dari hasil kerajinan yang mereka buat ditambah dari cafe sudah lebih dari cukup untuk membayar kos kedepannya.
Hanya saja Gara seolah mengejar sesuatu. Giat mempromosikan kerajinan yang mereka buat di akun sosial media miliknya. Tentu saja dengan akunnya. Frans tau bahwa Gara mungkin tidak ingin keluarganya tau apa yang terjadi dengannya.
"Dek, rebahan gih. Mukanya pucet itu."
Sebelum Gara menggeleng maka Frans sudah lebih dulu menuntun adiknya itu untuk rebahan diatas kasur dan menyelimutinya.
Gara yang hendak kembali bangkit langsung dapat lirikan tajam dari Frans. Maka dari itu Gara hanya memperhatikan dalam diam semua pekerjaan yang dilakukan Frans.
Beberapa saat kemudian Frans tampak keluar lalu kembali masuk dengan jaket hitam yang sudah cowok itu kenakan.
"Adek diem di sini aja sampek kakak pulang kerja, ya. Nanti pulangnya dibawain martabak deh. Terus nanti Mbak Muni bakal sesekali datang siapa tau adek butuh sesuatu."
Gara mengangguk patuh namun mulutnya kembali terbuka dan bertanya,
"Memangnya, Mbak Muni enggak kerja kak?""Enggak, lagi dapat jatah libur katanya. Pokoknya kalau butuh apa-apa kabari Mbak Muni aja, ya."
Gara mengangguk sekali lagi. Lalu Frans menutup pintu dan kini Gara berteman dengan hening.
Lama kelamaan matanya mulai mengantuk lalu setelahnya terpejam. Namun, baru akan memasuki alam mimpi suara diluar sana membuatnya terpaksa kembali membuka mata.
Tok tok
"Dek? Kamu ada di dalem kan?"
Itu suara Mbak Muni. Tapi, sepertinya Mbak Muni tidak sendirian. Mereka terdengar seperti mengobrol.
"Iya, Mbak sebentar," balas Gara akhirnya.
Gara pun memaksakan tubuhnya bangkit lalu berjalan pelan menuju pintu dan membukanya.
"Ini loh ada yang cari kamu katanya mau beli kerajinan yang kamu buat."
Gara lantas menoleh kebelakang Mbak Muni dan seketika dirinya terkejut bukan main pun dengan orang itu.
"Kalau gitu Mbak balik dulu ya. Kalau ada apa-apa panggil Mbak aja, oke?"
Gara mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lalu Mbak Munu pun berlalu dan masuk kedalam kamar kos yang berada tepat di dekat gerbang.
"Duduk dulu, Pak," ujar Gara dengan sopan meski rasa canggung itu hadir dan terlihat jelas diantara keduanya.
Gara masuk sebentar kedalam lalu keluar dengan membawa segelas air.
"Silahkan diminum, Pak."
Tidak ada jawaban. Melainkan hanya lirikan sekilas saja. Gara meremat jarinya gugup dengan situasi yang tengah ia hadapi sekarang.
"Jadi kamu tinggal di sini sekarang?" tanya orang itu yang dijawab Gara dengan anggukan kaku.
"Wah wah bukannya kamu bilang mau ke tempat Ayah kamu itu?"
Gara diam. Lebih tepatnya takut untuk menjawab. Ya, orang yang datang ke kosnya adalah Wahyu, ayah tirinya.
"Ternyata kamu sudah bisa berbohong, ya. Untung saja saya tidak menampung orang sepertimu."
Ucapan tajam itu tentu saja berhasil membuat Gara merasa sakit hati mendengarnya. Bahkan mata Gara kini sudah berkaca-kaca.
"Apa tanggapan Sukma jika tau kamu membohonginya?"
"Tolong jangan bilang ke Bunda, Pak" pinta Gara dengan raut memelas. Apa kata Bundanya nanti jika tau bahwa ia berbohong? Yang ada Sukma dan Arfan akan kembali bertengkar karena dirinya. Dan tentu saja Gara tidak ingin itu terjadi.
"Hah, yasudalah saya kesini mau liat pot yang kamu buat dari sedotan itu."
Gara kembali menoleh lalu setelahnya mengambil contoh barang yang di maksud lalu memberikannya pada Wahyu. Pria itu tampak memperhatikannya dengan serius lalu mengeluarkan ponsel dan memotretnya.
Setelahnya pria itu tampak sibuk dengan ponselnya. Lalu Gara hanya diam. Tidak beranu berkata banyak.
"Saya pesen yang seperti ini. Lumayan bagus sih jadi saya mau tiga puluh yang warna merah dan dua puluh yang warna kuning, bisa kan?"
Gara sontak saja mengangguk antuasias.
"Ini kartu nama saya. Hubungi saya kalau semuanya sudah selesai nanti akan ada orang yang mengambilnya ke sini." jelas Wahyu yang kembali diangguki Gara.
Wahyu pun meminum air putih yang diberikan Gara hingga tersisa setengah.
Diam-diam Wahyu memperhatikan tampilan Gara yang tampak berubah. Tubuh anak itu kini kurus dan pipinya tirus. Juga jangan lupakan wajah pucat dan lelahnya. Binarnya tampak redup dan sedikit membuat Wahyu iba.
"Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?"
"Sekitar enam bulan lebih, Pak."
Wahyu manggut-manggut lalu berkata,
"Sebenarnya saya enggak tertarik sama pot buatan kamu. Tapi, berhubung istri saya menyukainya jadi ya saya beli banyak aja sekalian."Gara memaksakan senyumnya lalu berusaha mengontrol hatinya yang terasa sakit.
"Kabar Bunda gimana Om? Baik, kan?" tanya Gara akhirnya dan juga mengubah panggilannya.
"Tentu saja baik. Dia hidup dengan layak dan bahagia. Tidak seperti waktu sama Ayah kamu itu. Tidak bisa membahagiakan istri makanya bunda kamu lebih suka sama saya."
Gara diam-diam meredam emosinya juga air mata yang hendak luruh. Arfan tidak salah. Sejujurnya yang salah disini adalah Sukma.
"Bunda yang selingkuh jadi kenapa Ayah yang salah?"
Wahyu sontak tertawa mendengar ucapan Gara.
"Kalau Ayah kamu itu bisa bahagiain Sukma enggak mungkin Sukma nyari kebahagiaan di luar. Lagian mau apapun yang terjadi Sukma sudah bahagia dengan saya, pun Ayah kamu yang bahagia dengan keluarga barunya. Tidak usah memikirkan kami. Urus saja hidup kamu yang tidak ada artinya lagi untuk mereka," ujar Wahyu dengan wajah sinis.
Gara berusaha tersenyum. Benar, mereka sudsh bahagia dengan keluarga masing-masing dan tidak ada tempat untuk Gara pulang.
"Sudahlah saya buang-buang waktu aja di sini. Saya tunggu kabar tentang pesanan saya. Jangan sampai ada yang rusak atau lecet."
Setelahnya Wahyu pun bangkit dan pergi meninggalkan Gara yang memandang punggungnya dengan sendu.
Tidam seharusnya Gara berharap lebih. Daripada terlalu lebay memikirkan kondisinya lebih baik melihat dari sisi yang lain.
Sisi baiknya Sukma bahagia. Wahyu bisa saja tidak menerimanya tapi Gara yakin Wahyu bisa membahagiakan bundanya. Juga dengan Ayah dan kedua kakaknya. Ayahnya mendapat pendamping. Kadua kakaknya akan menikah suatu hari nanti.
Jadi Gara tidak menemukan cela untuk dirinya berharap akan diterima dipihak mana. Jadi Gara hanya mampu diam lalu masuk kedalam kamarnya.
¤¤¤
Selamat membaca😊
Maafkan typo.
Ig : @anisaadrm23
Salam manis,
Ans Chaniago27 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Huis (END)
Teen FictionHuis dalam bahasa Belanda artinya adalah "rumah". Gara hanya sosok remaja mungil yang rindu kehangatan dan kasih sayang. Setelah Ayah dan Bunda bercerai dan kini telah mempunyai keluarga baru masing-masing, sosok Gara lah yang menjadi terbuang. Tid...