Elf

15K 2.1K 71
                                    

Keesokan harinya setelah makan siang Frans langsung berangkat mengantarkan pesanan Wahyu. Gara hanya bungkam tentang siapa sosok Wahyu.

Yang Frans tau ayah tirinya itu hanyalah pelanggan biasa. Frans tidak tau siapa sebenarnya sosok Wahyu di hidup Gara. Sengaja Gara sembunyikan. Gara hanya terlalu malas berharap.

Tidak akan bikin kenyang melainkan sakit hati yang di dapat. Yang harus Gara lakukan hanyalah bekerja dan mendapatkan uang.

Kini Gara hanya fokus membuat pesanan dari beragam kerajinan yang ia buat. Gara sudah berhenti kerja dari cafe sebab Frans yang menyuruh.

Kondisi fisik Gara sering menurun karna terlalu lelah sehabis pulang dari cafe melanjut membuat pesanan. Maka dari itu Frans menyuruh Gara agar fokus pada kerajinan saja. Setidaknya Gara hanya perlu duduk sambil mengerjakannya.

Dan kalau lelah Gara bisa langsung istirahat di tempat tidur tipis miliknya.

Kini setelah lumayan lama sendiri dan fokus mengerjakan lampion yang ia buat tiba-tiba saja sosok Mbak Muni datang dengan membawa sepiring gorengan juga dua gelas es teh manis.

Gara memang membiarkan pintu kamarnya terbuka agar ia tidak merasa kegerahan. Mbak Muni tampak duduk dan menaruh nampan yang ia bawa di sampingnya.

"Makan dulu, Dek, gorengannya mumpung masih hangat itu."

Gara mengangguk antusias. Tangannya mulai mencomot satu gorengan dan memakannya dengan lahap. Mbak Muni tersenyum melihatnya.

Menjadi anak tunggal dan tinggal jauh dari orang tua tentu saja membuat Muni merasa kesepian. Anak-anak disini cenderung mandiri dan bisa menjaga diri. Tapi, berbeda dengan Gara. Gara hanyalah anak manis yang masih butuh arahan dan kasih sayang.

Muni sendiri sudah menganggap Gara seperti adiknya. Terkadang tidak ragu membelikan Gara beberapa cemilan atau bahkan makanan hangat untuk menarik nafsu makan anak itu yang belakangan tampak turun.

"Ini mbak yang goreng sendiri?" tanya Gara seraya mengambil potongan goreng kedua.

Muni mengangguk lalu berkata,
"Dihabisin dek biar tambah gemuk."

Gara cemberut lantas mengunyah gorengnya dengan ganas. Muni yang melihatnya pun terkekeh.

"Enggak usah cemberut deh. Ini apa yang bisa Mbak bantu?" tanya Muni seraya melihat-lihat rangkaian lampion yang Gara buat.

"Emang mbak lagi enggak sibuk? Mending kerjain tugas kuliah aja, Mbak. Gara bisa sendiri kok."

Muni berdecak lantas mulai mengambil sedotan didekatnya.

"Tugas kuliah uda selesai makanya mbak ke sini mau bantuin adek. Mbak bantuin buat pot aja, ya. Soalnya, mbak cuma bisa itu hehe." cengir Muni yang diangguki Gara dengan semangat. Memang Muni pernah belajar cara membuat pot dari sedotan.

Cara membuatnya terbilang sederhana. Gara tentu merasa terbantu jika Muni membuat pot dari sedotan itu. Setidaknya kerjaan Gara menjadi lebih ringan.

"Ini mau dibuat warna apa aja, Dek?"

"Buat yang warna biru sekitar dua puluh aja, Mbak."

Muni mengangguk lalu mulai mengerjakannya. Sementara Gara pun meminum es tehnya lalu kembali merangkai lampion yang hampir selesai.

"Kalau adek capek istirahat dulu jangan dipaksain, ya," nasihat Muni yang diangguki oleh Gara.

"Makasih banyak ya, Mbak" ujar Gara dengan tulus yang mendapatkan senyuman hangat dari Muni.

"Bentar lagi Edi sama Renan datang ke sini mau bantu. Gapapa kan kalau mereka ikutan?"

"Gapapa, Mbak. Malah Gara senang ada yang bantu. Tapi, maaf ya Gara gak bisa ngasih apa-apa sama kalian," ujar Gara pelan.

Muni terkekeh mendengarnya.

"Bantuin bayi enggak harus dapat imbalan dek. Lagian seru bisa ngisi waktu luang. Jadi lebih baik bayi diam aja, ya," tutur suara tersebut yang membuat Gara dan Muni menoleh kearah pintu.

Tampak Edi dan Renan yang melihat mereka dengan cengiran khasnya. Edi dan Renan merupakan anak kos paling lama disini.

Mereka hanya berjarak 1 tahun dari Muni. Muni berusia 19 tahun yang sekarang tengah kuliah di salah saty universitas favorit di kota ini.

Sedangkan Edi dan Renan berusia 18 tahun. Mereka masih sepupuan dan sengaja tidak langsung melanjut kuliah. Jadi mereka memutuskan untuk bekerja.

"Wuih kayaknya lagi banyak pesanan nih, Dek," celetuk Renan dengan tangannya yang mencomot gorengan di piring.

Gara segera menepisnya dengan raut wajah merengut.

"Punya Gara, Bang. Kalau mau izin, dong," kesal Gara.

Renan mendengus sementara Muni dan Edi terkekeh.

"Pelit amat, dasar bayi! Kalau makanan aja pelit banget. Enggak mau kawanan sama bayi deh enggak seru," balas Renan yang memalingkan wajah serta kedua tangan dilipat di depan dada seperti tengah merajuk.

Gara memandang gorengan ditangannya dan Renan beegantian. Wajahnya memelas melihat Renan yang sepertinya marah padahal ia hanya bercanda.

"Abang, ini gorengannya buat abang deh tapi jangan marah, ya."

Gara mengulurkan tangannya memberikan gorengan itu. Diam-diam Renan ingin tertawa karena berhasil mengerjainya.

"Mbak," panggil Gara dengan wajah memelas berharap Muni mau membantunya.

"Mbak lagi sibuk buat potnya, Dek," balas Muni yang sebenarnya ingin sekali tertawa. Mengerjai Gara memang hal yang menyenangkan.

"Abang lagi bantuin Mbak Muni, Dek," ujar Edi saat melihat Gara menatapnya juga. Kali ini wajah anak itu memerah hendak menangis.

Gara hanya takut Renan marah. Ini bahaya. Kalau-kalau marahnya menular pada Muni dan yang lainnya. Gara bisa-bisa tidak ada teman disini.

"Abang, ini semua buat abang deh. Jangan marah dong, nanti dipukul Kak Frans, loh!"

Renan melongo menatap Gara. Raut wajah Gara hendak menangis tapi mulutnya berusaha menakut-nakutinya. Renan rasanya ingin mengumpat namun gemas juga.

"Siapa yang berani marah sama adek kakak ini?" tanya suara dari ambang pintu yang membuat mereka menoleh.

Renan pura-pura menyibukkan diri dengan membantu Muni membuat pot. Jantungnya ketar-ketir melihat Frans pulang. Frans memang lebih muda darinya tapi siapapun akan takut jika melihat tatapan tajamnya.

"Bang Renan marah karena Gara enggak kasih gorengnya, padahal Gara becanda, Kak," adu Gara dengan sebal.

Frans menatap tajam tersangka yang dimaksud dan Renan pun menghela nafas kesal melihatnya.

"Abang becanda juga, Dek. Enggak asik, masa ngaduan sih."

Gara memberengut lucu lalu menabok lengan Renan dengan keras. Renan melotot merasakan lengannya sakit.

"Ini bayi tenaganya setara hulk," sinis Renan yang membuat Muni dan Edi tertawa.

Frans pun duduk di sebalah Edi. Membantu melanjutkan pekerjaan dalam diam. Sementara Gara mulai kembali mengunyah gorengannya.

"Buatnya yang bener ya, Bang. Kalau salah, Gara rugi," celetuk Gara.

Lihatkan mulut berbisanya. Tapi diam-diam mereka lebih suka melihat Gara yang seperti ini. Setidaknya ekspresi anak itu tidak seputar raut sedih atau sendu.

¤¤¤

Selamat membaca😊

Maafkan typo.

Ig : @anisaadrm23

Salam manis,
Ans Chaniago

29 Juli 2020

Huis (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang