"Gara! Gara keluar!"
Pagi ini Gara sudah di usik teriakan dari luar pintu. Semalam Gara dan yang lainnya begadang menyelesaikan pesanan lampion. Alhasil Gara bangun lebih terlambat daripada biasanya.
"Lo itu punya sopan satun enggak sih? Dateng nyelonong aja terus teriak-teriak lo kira ini rumah kakek moyang lo apa?!"
Gara kenal suara itu. Itu suara Frans. Anehnya kenapa sepertinya diluar terjadi pertengkaran ya?
Dengan malas Gara bangkit dan membuka pintu kamarnya. Gara belum fokus sebab rasa kantuk masih menguasai dirinya saat ini.
"Dek, ngapain keluar? Masuk!" perintah Renan dengan lembut mendorong pundak Gara agat kembali masuk kerumahnya.
"Hm?"
Gara benar-benar bingung saat ini. Namun, ketiks menoleh ke samping Gara dibuat terkejut saat melihat kehadiran Daniel di tempat kosnya.
Tunggu, apa benar ini kakaknya? Kenapa kakaknya bisa ada disini?
"Gara," lirih Daniel. Netranya memandang sendu tubuh kurus sang adik. Frans berdecak lalu mendorong Daniel menjauh dari Gara saat melihat Daniel hendak memeluk Gara.
"Lo apa-apaan sih?!" bentak Daniel tidak terima atas perlakuan Frans. Belum lagi Edi yang tampak berusaha menghalangi Daniel memeluk Gara.
Untung saja keributan ini tidak memancing Farah datang. Dan untung saja sebagian anak kos sudah berangkat kerja.
"Seharusnya gue yang nanya! Apa maksud lo datang ke sini?"
Daniel tertawa remeh mendengar pertanyaan Frans. Pertanyaan yang tidak penting.
"Gue mau ketemu adik gue, emang salah?" tanya Daniel dengan senyum sinis.
Muni yang mendengarnya menghela nafas kasar. Tidak akan selesai jika kedua pihak menggunakan emosi. Yang ada hanya berujung baku hantam.
"Setelah lo buang dia terus seenak jidat lo mau ketemu dia gitu? Mending lo pergi deh. Gara enggak butuh kakak macam lo!" sentak Renan yang ikutan emosi.
"Bang," tegur Gara. Bagaimanapun Daniel itu kakaknya. Gara tidak ingin kakaknya dibentak seperti itu.
"Gara, masuk ke dalam!" perintah Muni. Namun, Gara menggelengkan kepalanya berulang kali tanda menolak.
Gara langsung saja mendekat kearah Daniel dan memeluk tubuh kakaknya itu dengan erat. Daniel tersenyum lalu membalas tidak kalah erat pelukan sang adik.
"Kangen," gumam Gara yang masih dapat di dengar oleh mereka semua.
Muni langsung memberi isyarat pada Edi dan Renan untuk membiarkan Gara dengan Daniel. Frans hendak menolak namun tubuhnya diseret paksa oleh Edi untuk pergi.
"Adek, maaf," lirih Daniel. Air mata cowok itu sudah mengalir deras. Tubuh adiknya dulu gemuk dan Daniel suka sekali memeluknya.
Tapi, sekarang tubuh Gara begitu kurus bahkan pipinya tampan tirus. Daniel benar-benar merasa bersalah dan tidak berguna.
"Enggak apa-apa, Kak," balas Gara dengan tulus.
Daniel melepaskan pelukannya lalu memandang sendu wajah pucat adiknya.
"Kenapa kamu kurus gini hm? Lemaknya dibuang kemana dek? Muka kamu juga pucat, adek sakit?"
Gara tanpa sadar tersenyum mendengar pertanyaan beruntun dari Daniel. Kakaknya masih sama seperti dulu. Masih suka panik sendiri saat melihat wajah pucatnya.
"Gara sehat kok."
Daniel berusaha percaya kendati hatinya menolak untuk percaya.
"Kakak tau darimana kalau Gara tinggal di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Huis (END)
Teen FictionHuis dalam bahasa Belanda artinya adalah "rumah". Gara hanya sosok remaja mungil yang rindu kehangatan dan kasih sayang. Setelah Ayah dan Bunda bercerai dan kini telah mempunyai keluarga baru masing-masing, sosok Gara lah yang menjadi terbuang. Tid...