Untuk yang kesekian kali Gara kembali jatuh sakit juga tubuhnya terasa begitu lemas. Wajahnya juga tampak pucat dengan bibir yang kering.
Tubuh Gara kini berbalut selimut tebal. Sosoknya sudah terlelap dalam buaian mimpi. Di sisinya ada Frans yang tengah melanjutkan kerajinan tangan yang telah di pesan orang.
"Ayah..."
Frans spontan menoleh dan mendapati adik kecilnya masih terlelap namun di sudut matanya terdapat aliran air mata. Frans tersenyum miris. Di saat seperti ini pun Gara menangisi orang yang bahkan tidak peduli padanya.
Untuk kesekian kali, Frans rasanya ingin marah akibat kelakuan gila keluarga Gara yang tampak tidak kehilangan sosoknya.
Frans sekali lagi menghela nafas saat menyadari berat badan Gara yang turun drastis. Dulu, saat pertama kali datang tubuh Gara tampak berisi serta pipinya yang lumayan berisi.
Namun, sekarang tidak lagi seperti itu. Tubuh itu kurus dan pipinya tampak tirus. Gara belakangan ini sering memuntahkan makanannya. Meski sudah makan bubur hangat pun tetap saja dimuntahkan.
Tangan Frans pun terulur menepuk-nepuk pelan pundak Gara guna membuat adiknya itu tertidur kembali.
Sementara di lain tempat, Dian tampak anteng menyirami bunga-bunga miliknya yang ada ditaman belakang.
Sudah enam bulan sejak hilangnya Gara, namun Dian seolah bungkam akan hal itu. Bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Bahkan dengan lihainya Dian memainkan aktingnya dengan mengatakan pada Sukma bahwa Gara berada disini.
Flashback on
Dian yang tengah menyiapkan makan siang tampak terganggu dengan dering ponsel miliknya.
Sudah berulang kali mengabaikan namun si penelpon diseberang sana seolah tidak menyerah untuk menghubunginya.
"Ma, angkat dong telponnya," tegur Daniel yang sejujurnya jengah dengan suara dering dari ponsel Dian yang tak kunjung diam.
Dian menyerah dan akhirnya berlalu ke halaman belakang seraya menjawab panggilan di sebrang sana.
"Kamu ngapain sih nelpon terus? Enggak punya kerjaan banget ya!"
Ini salah satu sifat Dian yang hanya di ketahui oleh Sukma. Dian dihadapan Sukma terlihat bergitu sinis dan tidak punya hati.
Tapi, jika sudah berhadapan dengan Arfam, Asyam, dan Daniel, sosok Dian berubah total. Memainkan perannya dengan apik sebagai sosok Ibu tiri yang penyayang.
"Aku mau nanya kabar Gara, Mbak. Aku cuma kangen sama anak aku."
Dian berdecak mendengarnya lalu berkata,
"Jangan aneh-aneh, ya, Sukma. Kamu sama suami kamu yang usir dia terus sekarang kamu seolah yang jadi korban. Uda deh Gara aman di sini sama aku."Terdengar helaan nafas diseberang sana. Sukma tampak mengatur emosinya yang sudah mau meledak.
"Udah sebulan lebih mbak aku enggak ketemu Gara. Aku ke sana ya, Mbak? Aku jemput Gara biar bisa nginap di sini."
"Enggak! Yang ada dia diusir lagi sama suami kamu itu. Uda deh daripada ntar kamu berantem sama Wahyu gara-gara Gara, mending kamu fokus aja sama hidup kamu yang baru. Urusan Gara itu jadi urusan aku sama Mas Arfan!"
"Tapi mbak aku hanya mau liat anak aku aja."
"Sukma, hak asuh anak-anak kamu jatuh ke tangan Mas Arfan. Juga suami kamu yang sekarang enggak mau nerima Gara. Tolong urus aja hidup kamu. Begitu juga aku. Urusan Gara aku yang atur. Plis jangan hubungi aku ataupun Mas Arfan soal Gara demi kebaikan kita masing-masing."
Belum sempat Sukma membalas langsung saja Dian memutuskan sambungan secra sepihak. Lalu menghapus nomor Sukma dari ponselnya.
Tidak boleh ada Gara lagi sampai kapanpun. Gara hanya ancaman bagi dirinya.
Flashback off
Kini Dian dapat tenang sebab Sukma tidak lagi menganggu hidupnya. Gara yang juga tidak tau dimana keberadaannya.
Tak apa, mau masih hidup atau tidak Dian benar-benar tidak peduli. Dirinya hanya cukup bersenang-senang dengan semua harta yang ia dapat saat ini.
"Aku cariin kemana-mana eh taunya kamu disini, Ma."
Dian lantas menoleh dan tersenyum melihat sosok Arfan yang baru saja pulang dari kantor. Dian pun menghampiri suaminya itu dan membawakan tas kerja suaminya.
"Capek banget ya, Mas?"
Arfan hanya mengangguk lalu keduanya masuk kedalam rumah.
"Yauda kamu mandi gih. Aku buatin teh hangat buat kamu Mas."
"Bawa ke ruang kerja, ya. Aku masih harus ngerjain beberapa berkas lagi."
Dian hanya mengangguk. Lalu Arfan berlalu ke kamar untuk membersihkan dirinya.
Arfan meletakkan ponselnya diatas nakas lalu melepas dasi yang terasa mencekik lehernya.
"Ayah."
Arfan lantas menoleh ke arah pintu saat tiba-tiba mendengar ada memanggilnya. Tidak ada siapapun. Hanya ada dirinya dikamar itu.
Namun, suara tadi mirip seperti suara seseorang yang telah lama tidak ia dengar.
Arfan kemudian mendudukkan dirinya dipinggir kasur. Tiba-tiba saja ia cemas tanpa alasan.
Arfan meraih ponselnya lalu menghubungi putra sulungnya, Asyam.
"Halo, Yah."
"Kamu masih dikantor, nak?"
"Iya Yah, kayaknya juga bakal lembur soalnya masih ada beberapa yang harus diselesaikan. Kenapa, Yah? Tumben banget telepon gini," kekeh Asyam diseberang sana.
"Enggak, Ayah cemas aja. Daniel aja disitu?"
"Enggak Yah, Mungkin masih di jalan. Sebentar lagi pasti sampai."
Arfan mengangguk meski Asyam tidak dapat melihatnya.
"Yaudah, Ayah tutup. Kakak pulangnya hati-hati ya."
"Iya, Yah."
Arfan memandangi lantai dengan perasaan cemas. Kedua putranya baik-baik saja. Lantas apa yang ia cemaskan sekarang?
Guna mengalihkan pikirannya, jemari Arfan membuka-buka albumbdi ponselnya dan melihat foto-foto disana.
Lama memperhatikan semua foto. Tiba-tiba saja netra Arfan terpaku dan degup jantungnya terdengar kencang saat melihat foto anak bungsunya.
Gara, di foto itu tampak mengenakan sweater biru kebesaran. Tangan mungilnya memegang permen kapas dan sosoknya memamerkan senyum kearah kamera.
Benar, biasanya jika cemas tiba-tiba datang pasti Gara dalam keadaan sakit. Dirinyalah yang merasakan cemas itu secara tiba-tiba.
Rindu itu tiba-tiba saja menguar. Arfan merindukan sosok bungsunya yang menggemaskan. Tanpa tau bahwa semua sudah hancur berantakan dibelakangnya.
Yang Arfan tau, selama ini Gara sang putra bungsu ada dirumah mantan istrinya, Sukma.
Sementara yang terjadi jelas berbeda. Gara tidak ada dirumah Arfan maupun Sukma. Gara telah menempuh hidup sulit tanpa keduanya tau.
¤¤¤
Selamat membaca😊
Maafkan typo.
Salam manis,
Ans Chaniago25 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Huis (END)
Teen FictionHuis dalam bahasa Belanda artinya adalah "rumah". Gara hanya sosok remaja mungil yang rindu kehangatan dan kasih sayang. Setelah Ayah dan Bunda bercerai dan kini telah mempunyai keluarga baru masing-masing, sosok Gara lah yang menjadi terbuang. Tid...