Jalanan sudah tampak lengang sebab hari sudah malam. Sudah berjam-jam sosok Gara berjalan tanpa tujuan.
Yang dilakukan Gara hanyalah memeluk tasnya dengan erat. Tadi Gara sempat berhenti dan menghitung uang tabungan yang ia bawa. Hanya tersisa sedikit. Tidak akan cukup untuk kedepannya.
Berjaga-jaga semua uangnya ia masukkan kedalam saku celana. Pandangannya meliar. Mencari tempat untuk ia tidur malam ini.
Selepas pergi dari rumah Sukma, Gara hanya berjalan tidak jelas sepanjang jalan. Tidak ada niatan untuk menghubungi siapapun. Percuma juga mengabari Arfan.
Arfan saja bahkan seakan lepas tangan dan menyuruhnya tinggal dirumah Sukma. Lalu sosok Wahyu yang merupakan ayah tirinya pun menolaj hadirnya.
Rasa sesak itu masih ada kala sosok wanita yang melahirkannya pun tidak berusaha melalukan apapun untuk dirinya yang merupakan putranya.
Sekarang bahkan untuk menangis pun Gara tak punya tenaga. Raut wajahnya tampak pucat dengan kedua mata yang masih tampak sembab.
Tidak pernah sekali pun Gara berpikir bahwa hidupnya akan seperti ini. Hadirnya bisa begitu cepat dilupakan tanpa alasan yang jelas.
Netra Gara pun jatuh pada halte sepi di pinggir jalan. Gara bergegas melangkahkan kakinya kesana. Kalau malam ini harus tidur disini rasanya tidak masalah. Daripada harus berjalan sepanjang malam.
Baru saja akan berbaring sosok wanita yang tengah hamil besar datang. Gara pun bergeser, membiarkan wanita itu duduk. Wanita itu pun memberikan senyum hangatnya.
Hanya hening yang ada. Gara sibuk memandang sekitar. Jalanan disini terlihat begitu sepi. Dan sejujurnya Gara pun tidak tau ia dimana sekarang.
"Kok jam segini masih diluar dek? Nanti dicariin sama orang tuanya loh."
Gara pun menoleh ke samping menatap wanita hamil itu yang tengah mengusap perut besarnya.
"Saya... enggak punya rumah bu." Akhirnya itulah jawaban yang Gara beri.
Wanita itu pun menoleh dan memperhatikan Gara dengan seksama.
"Kamu ini masih sekolah?"
Anggukan Gara berikan sebagai jawaban.
"Sebenarnya saya punya kos-kosan. Tinggal satu yang belum di tempati. Kalau mau kamu bisa tinggal di situ," jelas wanita itu yang membuat Gara tampak berbinar mendengarnya.
"Gara mau kok, Bu," ujar Gara dengan semangat.
Wanita itu tersenyum kecil melihat tingkahnya.
"Jadi nama kamu Gara, ya. Panggil saya Farah, kebetulan rata-rata yang ngontrak masih pada muda, bahkan ada yang masih sekolah seperti kamu ini," jelas Farah lagi.
"Tapi, Gara bingung mau bayarnya gimana bu, Gara cuma punya sisa uang sedikit."
Farah tampak diam sejenak. Lalu wanita itu berkata,
"Seingat saya, Frans yang nanti kamarnya di sebelah kamu, Di cafe tempat dia bekerja lagi ada lowongan. Coba nanti kamu tanya-tanya siapa tau masih bisa."Gara terdiam sebentar. Lalu setelahnya pun tampak mengangguk.
Lalu mereka beranjak dan berjalan sekitar 10 menit. Gara memperhatikan gang sempit yang ia lewati.
Lalu mereka berbelok dan barulah dapat Gara lihat jejeran kamar juga halaman yang tampaj bersih. Gara pun dibawa menuju kamarnya yang ada diujung.
Jikalau di perhatikan ukurannya bahkan tidak sebesar kamarnya dirumah Arfan. Tapi, tidak masalah. Setidaknya Gara punya tempat tinggal untuk saat ini.
"Ini kamar kamu. Kebetulan setiap harinya selalu dibersihin jadi tinggal ditempati. Semoga kamu nyaman, ya," ujar Farah seraya memberikan kunci kamar milik Gara.
"Kalau begitu kamu istirahat. Kalau butuh apa-apa datang aja ke rumah saya yang di depan. Insyaallah saya dan suami saya bakal bantu."
"Makasih banyak ya, Bu."
Farah mengangguk lalu berlalu meninggalkan Gara.
"Wih, ada anak baru nih."
Suara itu lantas membuat Gara menoleh dan mendapati lelaki seumurannya dengan kulit sawo matang dan tatapan teduh berjalan menuju kearahnya.
Yang Gara lakukan hanya diam. Sebab bingung harus menjawab apa.
"Kenalin, gue Frans. Kelas sebelas dan alhamdulillah masih jomblo dan ganteng sampai saat ini," cengir Frans sekaan sudah kenal lama dengan Gara.
Gara pun terkekeh kecil mendengarnya.
"Gara." balas Gara.
"Oh, Gara toh namanya. Btw, semoga lo betah ya, kalau butuh sesuatu jangan sungkan minta sama gue atau anak-anak di sini. Kita semua baik-baik kok."
Gara pun hanya mampu mengangguk. Sejauh ini Gara bisa melihat bahwa Frans adalah anak yang baik.
"Kata Bu Farah kakak kerja di cafe, ya? Ada lowongan kerja enggak, Kak?"
Mendengar itu sontak saja Frans mengangguk.
"Kita lagi nyari waiter. Lo mau kerja kayak gitu?" tanya Frans seraya memastikan. Sebab dilihat dari pakaian yang dikenakan Gara, Fran tentu tau itu pakaian yang mahal.
"Mau kok, kapan Gara bisa ke sana kak?" tanya Gara lagi.
"Besok lo siap-siap ikut gue ke cafe aja, oke?"
"Oke, makasih ya, Kak."
Frans mengangguk lalu pamit untuk masuk duluan.
Sama halnya dengan Gara yang juga mulai memasuki kamarnya. Gara memperhatikan sekelilingnya yang tampak bersih.
Ada lemari pakaian disamping kasur. Juga kamar mandi yang terlihat bersih. Sederhana tapi tampak begitu nyaman.
Gara bergegas menyusun pakaian yang ia bawa dilemari. Lalu bersih-bersih sebentar sebelum akhirnya merebahkan tubuh lelahnya diatas kasur.
Apapun keadaannya Gara hanya harus bertahan. Kendati perutnya terasa lapar, Gara hanya mampu menahan sebab sudah terlalu malam untuk keluar apalagi Gara tidak tau jalanan disekitar sini.
Lengan kurusnya pun mengambil ponsel dan menyalakannya. Tidak ada satu notif pun yang masuk. Jemarinya bergulir membuka aplikasi instagram dan yang pertama kali ia lihat adalah postingan Dian yang tengah makan malam di restoran mewah dengan Arfan dan kedua kakaknya.
Setelah foto tampak Dian juga membagikan video singkat yang tengah mereka lakukan di restoran. Tanpa sadar mata Gara memanas namun bibirnya malah tersenyum saat melihat sosok Arfan yang tengah tersenyum sambil memakan makanannya.
Lalu Asyam dan Daniel yang tampak menimpali omongan Dian. Jemari Gara pun mengelus lembut layar ponselnya yang menampilkan moment itu.
Tidakkah mereka tau apa yang tengah Gara alami sekarang? Bahkan ayahnya pun seolah biasa saja. Tidak memikirkan bagaimana kondisinya saat ini.
Dari sini semua semakin jelas. Gara tidak lagi penting. Kembali pada keluarga Arfan hanya akan membuat masalah baru. Pun dengan keluarga Sukma.
Setelah menekan ikon hati di postingan itu, Gara bergegas mematikan ponselnya. Menyamankan posisinya lalu menarik selimut membungkus tubuh mungilnya.
Percuma meratapi jika besok ada hari yang harus Gara hadapi. Jadi Gara hanya perlu berusaha memikirkan bagaimana ia bisa makan besok.
Urusan hatinya yang sudah terluka Gara hanya mampu diam. Biar saja. Toh belum tentu hatinya bisa sembuh total.
¤¤¤
Selamat membaca😊
Semoga suka dengan part ini ya.
Maafkan typo.
Ig : @anisaadrm23
Salam manis,
Ans Chaniago19 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Huis (END)
Ficção AdolescenteHuis dalam bahasa Belanda artinya adalah "rumah". Gara hanya sosok remaja mungil yang rindu kehangatan dan kasih sayang. Setelah Ayah dan Bunda bercerai dan kini telah mempunyai keluarga baru masing-masing, sosok Gara lah yang menjadi terbuang. Tid...