Vijftien

14.8K 2K 243
                                    

Sesuai kesepatakan kemarin, sore ini Gara dan Muni sudah duduk sembari menunggu di depan kamar Gara. Frans tadinya ingin minta izin untuk hari ini tapi Gara larang. Sebab, Frans sudah terlalu sering izin karna dirinya.

Sebagai gantinya Gara berjanji akan sering mengunjungi kos ini untuk bertemu dengan mereka.

Renan dan Edi pun terpaksa tidak ikut sebab ada pekerjaan yang harus di selesaikan. Namun, kedua cowok itu memeluk Gara dengan erat bahkan kedua mata mereka berkaca-kaca. Sepenting itu arti Gara di sini bagi mereka.

Sebenarnya sedari tadi perasaan Gara tidak enak. Namun, segera di enyahkannya agar tidak membuatnya kepikiran.

"Bonekanya enggak dibawa, Dek?" tanya Muni sambil memainkan ponselnya.

"Bonekanya besar, Mbak. Nanti aku ambil deh tapi enggak tau kapan," jawab Gara seadanya.

Muni pun mematikan ponselnya dan menaruhnya di saku celananya.

"Mbak buatin minum ya?"

Gara menggeleng. Dirinya memang haus namun tidak ingin merepotkan Muni lagi.

"Ini sudah lebih satu jam kita nunggu. Ayah kamu telat banget jemputnya, Dek," ujar Muni mengingat mereka sudah menunggu lama sekali.

"Mungkin kejebak macet, Kak."

Gara hanya berusaha berpikir positif tentang Wahyu. Mungkin saja ada keperluan mendadak atau macet yang membuat Ayah tirinya itu terlambat satu jam menjemputnya.

"Kamu yakin mau ikut mereka?" itu adalah pertanyaan kesekian kali yang di lontarkan oleh Muni.

Muni hanya khawatir dan Gara tau itu. Namun, tidak ada salahnya mencoba kan? Siapa tau saja hasilnya benar-benar sesuai dengan apa yang Gara harapkan.

"Yakin, Mbak. Mbak tenang aja nanti aku sering-sering kasih kabar deh."

"Kabar mah basi. Kasih uang gitu biar bisa beli martabak di depan," canda Muni yang disambut kekehan dari Gara.

Dari arah gerbang sosok Wahyu akhirnya muncul dengan setelan jas yang masih melekat di tubugh pria itu.

Gara dan Muni pun bangkit. Mereka berdua mencium punggung tangan Wahyu sembari memberikan senyuman hangat.

"Dijalan tadi macet ya, Om?" tanya Gara memberanikan dirinya.

Wahyu menggeleng. Dari raut wajahnya pria itu tampak ingin mengatakan sesuatu.

"Saya baru dari rumah sakit makanya telat ke sini," balas Wahyu.

Gara membulatkan matanya mendengar itu lantas bertanya,
"Om sakit? Atau Bunda?"

"Bunda kamu tadi pingsan jadi saya bawa ke rumah sakit."

"Bunda sakit, Om? Bunda sakit apa?" tanya Gara dengab raut panik. Muni yang disebelahnya hanya bisa menyimak. Tidak ada hak untuk ikut campur.

Wahyu tampak menghela nafas. Netranya dapat melihat tas berukuran sedang di samping Gara. Tanpa sadar Wahyu tersenyum miris. Gara benar-benar ingin bertemu Sukma.

"Gara, saya minta maaf," ucap Wahyu tiba-tiba.

"Minta maaf buat apa, Om?"

Entab mengapa jantung Gara berdetak cepat seperti ketakutan menantikan kalimat yang akan di utarakan oleh Wahyu.

"Saya tidak bisa membawa kamu tinggal di rumah saya."

Deg

Muni menoleh cepat kearah Gara yang terdiam dengan pandangan kosong ke depan. Muni menghela nafas seraya memegang pundak Gara. Dirinya saja merasa sedih mendengarnya, bagaimana lagi dengan Gara?

Huis (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang