Haruto menghela nafas berat seraya menatap gedung yang sudah lama tidak ia kunjungi. Benar itu sekolah, tempat dimana pertama kali dirinya bertemu dengan Park Jeongwoo— lelaki manis yang berhasil membuatnya jatuh cinta.
Mungkin dulu di tempat itu terukir banyak kenangan indah dengan Jeongwoo. Sadar atau tidak, dulu tempat itu menjadi salah satu tempat favoritnya setiap hari untuk ia kunjungi selain karena kewajiban juga alasannya adalah hanya di sekolah ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman sebangkunya. Tapi, sekarang gedung itu hanya sebagai bagian dari kenangan. Tidak ada yang benar-benar mengerti seberapa berartinya sekolah itu untuknya.
Haruto mendongak menatap langit dari depan gerbang sekolah. Entah bagaimana caranya secara kebetulan matanya memicing menangkap benda besar yang terlihat kecil jika di udara. Pesawat itu melintas di udara membuat Haruto teringat kembali dengan Jeongwoo. Pasalnya benda itu yang membawa Jeongwoo pergi terbang jauh darinya menuju benua yang berbeda dengannya sekarang.
Lagi-lagi Haruto menghela nafas seraya menatap nanar bagian speedometer motor Ninjanya. Sejak tadi ia tidak berpindah posisi, melainkan hanya berdiam diri duduk di atas motornya. Ia melirik spion kiri lantas tersenyum membayangkan dulu sering kali ia melihat wajah itu balik tersenyum ke arahnya dari balik boncengan melalui spion kirinya.
Sejujurnya Haruto sangat senang dan tentu saja bangga dengan Jeongwoo. Lelaki itu memang anak yang pintar, sehingga ia berhasil lolos mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di luar Negeri. Tidak hanya lolos di satu beasiswa, bahkan kekasihnya tersebut berhasil mendapatkan dua beasiswa di dua universitas luar Negeri—Amerika dan Australia. Namun, di balik rasa bangga tersebut tidak bisa Haruto pungkiri kalau ia sendiri takut. Ia hanya takut kalau perlahan jarak akan menyita waktu kebersamaan mereka meski hanya via internet.
Long distance relationship. Jujur, Haruto benci dengan sebutan itu. Membayangkan harinya tanpa Jeongwoo dalam waktu yang tidak sebentar membuat kepalanya pusing. Di satu sisi ia juga tentu saja tidak bisa memaksakan egonya agar Jeongwoo tetap tinggal disini dengannya. Bagaimanapun Haruto harus merelakan Jeongwoo pergi untuk mengejar mimpinya.
Bahkan Haruto sering kali menjadi overthinking dengan itu. Bukan hanya kepada Jeongwoo disana, tapi juga kepada dirinya sendiri. Rasa takut itu sering kali muncul hinggap di dirinya. Entah bagaimana caranya setiap kali berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya harus siap menjalani hubungan jarak jauh dengan Jeongwoo, tapi berkali-kali ia juga sering merasa ketakutan.
Seperti yang ia ketahui, di dunia ini hanya sebagian kecil yang berhasil melewati ujian dalam menjalani hubungan jarak jauh. Kerap kali Haruto memikirkan kemungkinan yang dapat saja terjadi. Baik dan buruknya dalam menjalani hubungan jarak jauh seperti ini. Anggap hanya 1% yang berhasil, apakah ia dan Jeongwoo bisa menjadi bagian dalam 1% tersebut?
Beberapa bulan tanpa Jeongwoo membuat Haruto merasa kosong. Ia merasa ada bagian yang hilang darinya. Haruto menyadari kalau itu adalah Jeongwoo, bagian dari hatinya yang sekarang hilang karena memilih pergi meninggalkannya ke Australia. Sebisa mungkin Haruto meneguhkan hati bahwa hanya Jeongwoo yang ia mau, hanya Jeongwoo yang ia butuhkan dan sama seperti apa yang dibilang Jeongwoo padanya bahwa sejauh apapun jaraknya hanya lelaki itu tempatnya untuk kembali.
"Honestly I'm scared, Woo. But, I hope everything goes well. I miss you,"
Sedetik kemudian handphone Haruto berdering. Lelaki itu menatap caller ID di layar benda pipih tersebut lalu segera mengangkatnya. "Halo?"
"Lo dimana?"
"Di jalan."
"Bisa jemput gak di kampus? Gue nebeng plis. Gue baru kelar rapat,"
"Pulang sendiri gak bisa?"
"Motor gue di bengkel. Ojol nggak ada yang mau ngangkut gue dari tadi. Gua kira Hyunsuk ngampus hari ini, padahal mau nebeng dia tadinya.."
"Yang lain kemana emang?"
"Temen himpunan gue udah pada balik terus gue barusan telfon Jihoon katanya dia udah di rumah, Yoshi juga. Ini makanya gue telfon lo."
Haruto menatap jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir setengah 6 sore. Ia pikir benar juga jam segini pasti sedang macet-macetnya. Naik ojek online juga pasti susah dan mahal.
Berhubung ia satu-satunya yang masih berada di jalan, lantas ia memijat pelipisnya. Haruto menghela nafasnya sebal. Kalo bukan temen mana mau gue balik ke kampus lagi.
"Yaudah tunggu. Gue kesana.."
"Oke. Thanks, Haruto."
"Hm." Haruto hanya berdeham. Ia mematikan sambungan telefonnya lalu kembali memakai helmnya sebelum mengendarai motornya. Sekali lagi Haruto menghela nafas sebal sambil menggeleng..
Ada ada aja lo, Kim Junkyu.
---
Lacuna: a blank space, a missing part
[The last book of IPA Series]Kindly to read IPA & IPA 2
before you read this bookRating 18+ because this book contains harsh words, toxic relationship, fighting, mentioning alcohol & kiss.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna [hajeongwoo] || TELAH TERBIT
FanfictionSequel of Arunica [hajeongwoo] "a blank space, a missing part." Apa yang pertama kali muncul di benak setiap orang ketika mendengar long distance relationship? Bagi Haruto berada jauh ribuan kilometer dari orang yang di sayang merupakan ujian terber...