Perth, Australia.
Seusai kelas berakhir, Jeongwoo segera berjalan menyusuri gedung fakultasnya—Faculty of Health and Medical Sciences University of Western Australia. Suasana fakultasnya ramai seperti biasanya, orang-orang di dalam gedung ini terlihat sibuk. Meski Jeongwoo masih terbilang tingkat awal, namun ia juga mulai merasakan sibuknya menjadi mahasiswa Kedokteran. Ia menghela nafas lelah seraya terus berjalan.
"Park Jeongwoo.."
Langkah Jeongwoo otomatis terhenti ketika sebuah suara baru saja memanggil namanya. Tentu saja dia, siapa lagi memangnya di tempat ini yang bernama Park Jeongwoo?
Jeongwoo membalikkan badannya, lantas kedua netranya menemukan Yedam yang tengah melambaikan tangannya dari jarak beberapa meter. Jeongwoo mengangguk sekilas sebelum akhirnya ia lihat mantan ketua kelas sewaktu kelas sepuluhnya tersebut berjalan menghampirinya dengan senyum yang terpancar dari wajahnya. "Buru buru banget? Mau langsung balik?" tanya Yedam.
"Gimana kalo ke catalyst dulu?"
Sebenarnya niat Jeongwoo ingin langsung pulang ke apartemen, tapi ia tidak bisa menolak tawaran dari Yedam. Lagi pula ia pikir bukan masalah besar jika mereka istirahat sebentar sambil berbincang bersama di tempat yang Yedam sebutkan.
"Oke."
Yedam otomatis merangkul bahu Jeongwoo. "Let's go!"
Catalyst Cafe atau yang dikenal juga sebagai Science Cafe adalah salah satu tempat yang menyediakan makanan dan minuman yang lokasinya berada di lingkungan kampus UWA. Biasanya catalyst selalu didatangi oleh mahasiswa UWA, khususnya mahasiswa Fakultas Kedokteran.
Yedam mendorong pintu kaca cafe tersebut diikuti oleh Jeongwoo yang mengekor di belakang. Mereka memilih meja di sudut ruangan, alasannya agar lebih nyaman tidak dilewati orang-orang. "Mau pesen apa?" tanya Yedam.
"Kayak biasa aja." Jeongwoo membuka ransel untuk mengambil kartu membership nya. Mahasiswa yang memiliki kartu membership catalyst cafe akan mendapat potongan harga untuk setiap pembelian makanan atau minuman disini. Namun, pergerakan Jeongwoo jadi terhenti ketika tiba-tiba suara Yedam terdengar. "No need to pay, Woo. I'll treat you today,"
Jeongwoo menatap Yedam sesaat sebelum terkekeh. "Tumben? Tapi, gapapa deh lumayan gratisan." Ucap Jeongwoo. Gratis. Entah sejak kapan kata itu menjadi sangat diperhitungkan oleh Jeongwoo. Baginya tinggal di Negara lain, maka harus pintar mengatur keuangan kalau tetap ingin bertahan hidup.
Meski Jeongwoo terbilang dari keluarga yang berada, tapi keadaan keluarga yang tidak utuh tanpa seorang Ayah membuat lelaki itu berpikir untuk hidup mandiri tanpa harus selalu menyusahkan Ibunya. Setidaknya selama hidup di Australia, Jeongwoo pikir ia harus hemat. Meski Irene tidak pernah lelahnya untuk mengingatkan putranya agar tetap menghubungi dirinya jika berhubungan finansial. Namun, Jeongwoo pikir selama ini ia sudah banyak merepotkan Ibunya, terlebih lagi sumber keuangan keluarganya hanya berasal dari Ibunya. Maka dari itu ia mengejar beasiswa sampai kuliah di Australia. Meski tidak sepenuhnya ia tidak mengeluarkan uang sepeserpun selama kuliah disini, tapi setidaknya bisa mengurangkan sedikit beban Ibunya.
Yedam menggulung sedikit lengan jas lab putihnya sebelum membalas ucapan Jeongwoo. "Iya, simpen aja saldo lu. Gue yang traktir.."
Jeongwoo yang melipat kedua tangannya di atas meja lantas mendongak menatap ke arah Yedam yang sejak tadi berdiri. Lantas ia mengangguk seraya tersenyum lebar sampai memperlihatkan deretan giginya. "Thank you, Yedam."
Yedam yang menyaksikan tingkah Jeongwoo seperti anak kecil tersebut hanya dapat terkekeh. Tangannya lantas menepuk kepala Jeongwoo sekali, "Sama sama, Jeongwoo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna [hajeongwoo] || TELAH TERBIT
FanficSequel of Arunica [hajeongwoo] "a blank space, a missing part." Apa yang pertama kali muncul di benak setiap orang ketika mendengar long distance relationship? Bagi Haruto berada jauh ribuan kilometer dari orang yang di sayang merupakan ujian terber...