Sinar matahari menyelusup masuk ke kamar tidur melalui celah-celah jendela yang masih tertutupi gorden. Suara dering alarm dari handphone berbunyi—menandakan kalau pagi sudah tiba dijemput oleh sang fajar. Haruto dengan tidur posisi tengkurap tidak bergerak sama sekali. Alarm yang terus menerus nyaring berbunyi pada akhirnya berhasil mengganggu tidurnya. Lantas tangan jenjang lelaki itu meraba ke atas nakas samping tempat tidur untuk mencari keberadaan handphonenya.
"Berisik." Haruto mematikan alarmnya. Laki-laki itu kembali memejamkan kedua matanya sesaat sebelum akhirnya ia teringat kalau hari ini ia ada kelas jam 10 pagi.
Dengan terpaksa Haruto membuka kedua matanya berusaha menyesuaikan pandangannya dengan keadaan sekitar kamar. Ia dengan cepat membalikan posisi tubuhnya lalu terdiam menatap langit-langit kamarnya. "Good morning, Haruto." ucapnya pada diri sendiri. Lantas Haruto beringsut bangkit dari tempat tidur untuk mandi lalu sarapan.
Beberapa saat kemudian Haruto sudah berdiri di dapur. Kedua tangannya ia sandarkan pada counter dapur mininya. Sebenarnya ia masih setengah sadar, tadi saja di kamar mandi ia hampir terpeleset jika tidak segera berpegangan pada dinding. Haruto mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya membuka kitchen set. Tangannya mengambil dus cereal lalu ia tuangkan isinya ke mangkuk, lantas Haruto beralih menuangkan susu kemasan ke dalam mangkuk.
Haruto menarik kursi meja makan sampai menimbulkan suara decitan dari kaki-kaki mejanya. Lelaki itu lantas duduk dengan tenang di kursi seraya memakan sarapan paginya. Sesekali matanya melirik pada handphone yang sengaja ia taruh di atas meja. Namun, hasilnya nihil—tidak ada tanda kalau seseorang menghubunginya.
Pandangan Haruto kembali fokus pada mangkuk cereal nya sampai suara dering handphone berhasil mengalihkannya. Sebuah senyum mengembang di wajah Haruto ketika ia melihat caller ID di layarnya.
"Halo?"
"Halo, sayang. Gimana? Orangnya udah sampe?" Suara perempuan langsung terdengar di telinganya.
Haruto melirik ke arah ruang tamu lalu menjawab. "Belum tuh, Bun. Orangnya beneran mau dateng hari ini emangnya?" tanyanya.
Kaori disana mengangguk. "Iya, katanya mau dateng hari ini. Udah Bunda kasih tau juga alamat apartemen kamu biar langsung diantar kesana."
"Oh, oke. Tapi aku ada kelas jam 10 nanti, Bun. Takutnya orangnya dateng pas aku udah berangkat."
"Hmm, iya juga ya. Semuanya udah diurus sih, semoga datengnya pas kamu belum berangkat deh. Kamu tungguin aja ya sampe sebelum berangkat ke kampus. Nanti kalo udah sampe kabarin Bunda ya?"
Haruto mengangguk menuruti perintah Ibunya. "Okedeh, Bun. Nanti kalo udah sampe Haru kabarin. By the way makasih ya, Bun. Haru jadi ngerepotin Ayah sama Bunda."
"Enggak sayang. Nggak ngerepotin sama sekali, lagian itu emang buat keperluan kamu juga disana 'kan."
Haruto tersenyum. "Iya, Bun."
"Oh iya, Jeongwoo gimana kabarnya?"
Haruto yang sedang menyuap cereal nya ke dalam mulut otomatis jadi terbatuk ketika mendengar Ibunya menanyakan kabar Jeongwoo. Lelaki itu langsung mengambil air minum untuk segera ia tenggak sampai habis tidak tersisa di gelasnya. "Jeongwoo.." apa anjir gue aja gak tau kabarnya.
"Haru, are you okay?"
Haruto tertawa kecil. Tentu tawa yang dibuat-buat, "Y-yeah. Jeongwoo baik, Bun." maybe....?, Pikir Haruto.
Haruto mengetukkan jarinya di atas meja. Kaori kembali bersuara di telepon, "Bagus kalo gitu. Baik baik kamu sama dia. You are so lucky to have him, Haruto. He is such a good boy. Kind-hearted, polite, also—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna [hajeongwoo] || TELAH TERBIT
أدب الهواةSequel of Arunica [hajeongwoo] "a blank space, a missing part." Apa yang pertama kali muncul di benak setiap orang ketika mendengar long distance relationship? Bagi Haruto berada jauh ribuan kilometer dari orang yang di sayang merupakan ujian terber...