"Kak, gue janji pas buka part ini gue berhenti jadi silent reader dan langsung ngasih vote terus spam komen di setiap paragraf."
HAYOLOH, KALIAN UDAH JANJI JADI GABOLE INGKAR
❝Menjadi baik memang sebuah keharusan. Namun terkadang, bertingkah brengsek juga sangat diperlukan.❞
-Undecided-
Suasana di sekolah masih sama seperti biasa pagi itu- atau lebih tepatnya, berusaha untuk tetap terlihat sama. Di luar pagar, masih banyak wartawan pencari berita yang ingin menerobos masuk untuk mendapatkan informasi tetapi harus tertahan karena pagar yang menjulang tinggi itu segera ditutup oleh Pak Satpam setelah memasukkan semua muridnya.
Berdasarkan rumor yang beredar, untuk sementara waktu anggota kelas XI IPS I harus melakukan kegiatan belajar mengajar di perpustakaan karena selain garis polisi yang masih terpasang di palang pintu kelas mereka, pihak yang berwenang juga masih melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai kasus ini di tempat kejadian perkara.
Dycal menghela nafas lega setelah berhasil menerobos kerumunan massa di luar sana. Ia menginjakkan kaki di lantai tiga sekolah tepat ketika bel masuk berbunyi. Dycal baru saja akan masuk ke dalam kelas tapi tiba-tiba sebuah sapu membentang di pintu kelas, menghalangi langkahnya. Ia menghela nafas ketika mengetahui siapa pelakunya. "Apa sih, Ta?" tanyanya, malas.
Nafta memamerkan senyum cerahnya, lalu menggerak-gerakkan sapu menunjuk sepatu Dycal. "Ada peraturan baru di kelas kita. Mulai hari ini, setiap orang yang mau masuk ke kelas harus melepas sepatu," sahutnya. "Jadi, demi kebersihan bersama, tolong lepas sepatu Bang Ical terus sisain kaos kaki. Kalo udah, baru boleh masuk."
Dycal yang malas berdebat dan tak ingin membuang waktu hanya berdecak sesaat lalu segera melepas sepatu dan menaruhnya pada rak di dekat teralis kelas.
"Selamat masuk kelas, semangat belajar dan semoga hari Bang Ical menyenangkan."
Dycal refleks bergidik ketika telah masuk ke dalam kelas langsung mendapat sambutan kalimat seperti itu oleh Nafta. "Kesambet apaan lo?" tanyanya, aneh sendiri.
Nafta menggeleng, lalu sambil memegang sapu ia cengar-cengir menatap Dycal dengan mata berbinar. "Malem minggu ini sibuk ga? Temenin gue dateng ke acara ulang tahun kakak gue yuk, Cal."
Ternyata ada maunya.
Bukannya memberi respons, Dycal justru melewati Nafta begitu saja tanpa sepatah kata pun. Cowok tanpa ekspresi itu kini meletakkan ranselnya di atas kursi miliknya lalu melangkah ke barisan belakang- tempat di mana anak-anak yang lain sedang berkumpul. Di meja Fero, lebih tepatnya.
"Gue denger-denger, ada sekitar dua murid dari kelas sebelas dan tiga murid dari kelas sepuluh yang orang tuanya datang ke kantor hari ini, ngurus surat pindah," kata Farhan, serius. "Eh, dateng juga lo, Cal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Undecided
Teen Fiction❝Riddle was made to be solved, are you ready to solve it together?❞ Bukan tanpa alasan murid sepintar Dycal Alvredo memutuskan pindah dari sekolahnya yang biasa ke sekolah swasta bergengsi di kotanya itu. Sebuah teka-teki yang setiap malam selalu me...