aku tantang kalian, share cerita ini ke instastory terus tag aku
berani nggak? wkwkmau double up kayak kemaren nggak?
kalo tembus 250+ vote 350+ komen dalam waktu nggak sampe 2x24 jam, aku bakal up part selanjutnya senin ini
HEHEH
❝Untuk sementara, biarlah mengalir seperti ini. Tunggu saat yang tepat, semua akan mengalir seperti yang seharusnya.❞
-Undecided-
Ben menutup pintu mobil dengan keras setelah menghentikan mobil itu tepat di garasi rumahnya. Cowok itu kini duduk di atas bamper seraya berdecak. Keningnya berkerut, mencoba memahami tiap kejadian yang baru saja dialaminya. Ia jelas ingat ketika ia ingin berangkat sore tadi, papanya sempat masuk ke dalam kamar Ben dengan dalih meminjamkan mobil. Ben saat itu sedang meletakkan pakaian yang ingin dikenakannya ke atas tempat tidur, mengangguk mengiyakan perkataan papanya. Setelah itu, ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Kemungkinan besar, saat itu juga papanya memasukkan alat perekam tersebut ke dalam saku hoodie milik Ben.
Ben mengusap wajah dengan gusar. Cowok itu akhirnya memilih bangkit dari duduk dan berjalan masuk ke rumah.
"Sudah pulang?"
Setidaknya itulah pertanyaan yang merasuk ke dalam indra pendengaran Ben ketika ia memasuki rumah bergaya mediterania klasik itu. Cowok itu mengeraskan rahangnya, kentara sekali bahwa ia sedang marah dan tidak suka melihat keberadaan papanya.
"Suka dengan ruangannya?" tanya pria yang sedang duduk di sofa ruang tengah dengan kaki bersilang itu, sembari menatap putranya dengan seringaian kecil terpatri di sudut bibirnya. "Sudah bertemu dengan mereka?"
Ben memasang wajah datar, mengeluarkan sesuatu dari saku hoodie. Kemudian, cowok itu melempar sesuatu berupa alat perekam itu bersamaan dengan kunci mobil ke depan papanya. "Hampir aja gue salut karena bokap gue sendiri ngasih ruangan buat kita. Tapi nyatanya....," Ben tertawa sesaat, kemudian menggelengkan kepala. "Cuma dimanfaatin."
Samuel kini melayangkan tatapan tajam pada Ben. "Jaga omongan kamu, nggak sopan."
"Jangan berharap punya anak yang sopan kalo lo sendiri aja nggak berperilaku demikian. Ngerekam secara live omongan orang tanpa izin itu ngelanggar hak privasi, 'kan?" tanya Ben, membalikkan ucapan papanya ketika mereka dipanggil ke ruangan beberapa hari lalu.
Samuel terkekeh, masih menatap putranya. Pria itu kemudian mengambil alat perekam yang tadi dilempar Ben, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. "Suatu saat kamu tahu sendiri, untuk apa papa melakukan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Undecided
Fiksi Remaja❝Riddle was made to be solved, are you ready to solve it together?❞ Bukan tanpa alasan murid sepintar Dycal Alvredo memutuskan pindah dari sekolahnya yang biasa ke sekolah swasta bergengsi di kotanya itu. Sebuah teka-teki yang setiap malam selalu me...