"Abang kenapa?"
(Namakamu) saat itu masihlah bocah lugu yang memakai rok merah, sedangkan laki-laki dihadapannya memakai seragam putih dongker.
Laki-laki itu adalah Ari, abangnya. Ari mendongkak, memperlihatkan sudut bibirnya yang berdarah pun pipinya lebam.
"Abang terjatuh." Jawabnya.
(Namakamu) berjalan mendekat, dia lalu berjongkok dihadapan Ari yang kini duduk di pojok kamar seraya memeluk kedua kakinya.
"Ayo, kita bilang sama Papa dan Mama. Kita pergi ke rumah sakit," seru (Namakamu), "Abang sering jatuh soalnya."
Ari tersenyum, lalu meringis karena sudut bibirnya yang terluka. "Jangan bilang Mama, Papa. Ini rahasia kita, ya?"
(Namakamu) kecil hanya mengangguk, dia lalu memeluk Ari dan Ari pun balas memeluknya.
(Namakamu) tidak tahu kenapa Ari setiap minggu pasti selalu pulang dengan luka dan lebam. Kalau ditanya, Ari selalu menjawab ia terjatuh. Jadi, (Namakamu) tak banyak tanya.
Papa dan Mama sibuk bekerja, jadi mereka hanya pulang saat anak-anaknya tidur. Ari dan (Namakamu) mengerti, orangtuanya bekerja sangat keras demi mereka. Jadi, mereka berdua tak banyak menuntut.
(Namakamu) menatap Ari yang terlihat bergetar, pria itu menggenggam sendok makan erat-erat sambil menatap layar ponselnya.
"Bang..."
Ari sedikit terkejut, ia menyimpan ponselnya dan menaruhnya di dalam saku bajunya. "Ayo, di habiskan makannya. Abang antar ke sekolah, ya?"
(Namakamu) menggeleng. "Hari ini aku berangkat sendiri aja, Abang duluan aja."
Ari bungkam, dia lalu mengangguk. "Hati-hati ya."
"Iya."
*
Hari itu (Namakamu) tidak pergi sekolah, melainkan mengikuti langkah Ari. Sejujurnya (Namakamu) penasaran, benarkah Ari selalu terjatuh setiap berjalan?
Kalau memang jatuh, kenapa pipinya yang lebam? Kan, jatuh tidak melulu soal lebam apalagi kena wajah, kan?
"NAH, itu anaknya! Heh, sini lo."
(Namakamu) menggigit bibir bawahnya saat Ari di seret ke dalam sebuah gang, dengan jantung yang berdebar (Namakamu) bisa melihat Ari di bully oleh sekelompok orang dengan seragam yang sama dengan Ari.
Mereka menghardik Ari, mencaci, dan melukai fisik Ari.
(Namakamu) keluar dari persembunyiannya, tak ada yang sadar kecuali Ari. Pria itu menatap (Namakamu) kaget, dalam keadaan di tendang-tendang oleh pembully. Ari tersenyum dan menaruh telunjuknya di depan bibir.
Lagi, lagi, lagi.
Ari memintanya bungkam.
(Namakamu) hanya bisa menangis dan sembunyi lagi. Tak lama rombongan pembully itu pergi, (Namakamu) segera berlari mendekati Ari yang kesusahan berdiri.
"Abang bilang Abang jatuh."
"Abang bilang Abang baik-baik saja."
"Tapi, ternyata itu semua tidak benar."
Ari hanya diam saat (Namakamu) menangis, rasa sakit ditubuhnya tak sebanding dengan sakit hatinya. (Namakamu)-nya menangis, padahal Ari sudah susah payah menyimpan semua sendiri.
"Abang, ayo laporin ini ke Mama dan Papa."
"(Namakamu). Ini rahasia kita. Kamu taukan rahasia itu apa."
(Namakamu) sesegukan, dia mengangguk. "Rahasa itu gak boleh di omongin ke orang-orang, kalau di omongin ke orang lain nanti dosa."
Ari mengangguk, "Maka dari itu ini rahasia kita."
Rahasa kita.
Rahasia terakhir.
Karena keesokan harinya, (Namakamu) melihat Abangnya gantung diri.
Mama dan Papa terpukul, mereka tidak pernah tau kalau Ari menjadi korban bully karena selama ini Ari selalu menyimpan semuanya sendiri.
Mama dan Papa sejak saat itu selalu mendidik (Namakamu) keras. Tak boleh menjadi perempuan lemah, harus pandai melawan dan tak boleh di injak-injak.
Lalu, (Namakamu) yang lama telah mati. Yang ada hanya (Namakamu) yang kuat dan tak pernah takut terhadap siapapun kecuali Tuhan, Mama dan Papa.
*
Sekarang semuanya sudah berubah, cukup banyak. Tapi, (Namakamu) lebih senang menyimpan fakta tentang dirinya yang dapat berkelahi.
Hah, untuk pertama kalinya ia menggunakan kekuatannya untuk menolong orang lain bukan melindungi dirinya.
(Namakamu) berjalan menuju kelasnya dengan buku-bukunya di dalam pelukannya. Rambut cokelatnya ia gerai, seragam putih abu-abunya yang rapi, dan angin pagi begitu menemani setiap langkahnya.
"Sendirian?"
(Namakamu) yang mendengar suara itu seketika menyingkir dengan cepat, ia terkejut melihat Iqbaal tiba-tiba di sampingnya. Iqbaal memberhentikan langkah kakinya dengan napasnya yang sedikit tersengal.
(Namakamu) melihat Iqbaal dengan rambutnya sedikit berantakan, bajunya yang tidak rapi, dasinya yang tidak terpasang hanya digantung di baju itu, dan tas ranselnya yang disandang satu saja.
"L-o? Ngapain di sini?" tanya (Namakamu) dengan masih terkejutnya.
Iqbaal membasahi bibir bawahnya, dan menyisir rambutnya ke belakang. "Ya, menurut lo?" balas Iqbaal dengan suara beratnya.
(Namakamu) merasakan paginya akan hancur jika sudah berhadapan dengan laki-laki di hadapannya ini, ia pun kembali berjalan meninggalkan Iqbaal. Iqbaal pun kembali mengikuti (Namakamu).
"Lo nggak mau pindah sekolah?" tanya Iqbaal dengan tatapannya kini ke (Namakamu) yang berada di sampingnya, mereka berjalan bersama.
(Namakamu) melirik tajam ke arah Iqbaal, "maksud lo apaan suruh-suruh gue pindah?! Ha?!" ucap (Namakamu) dengan kesal.
Iqbaal menyunggingkan senyumannya, "biar jadi pacar gue," balas Iqbaal dengan suara beratnya.
(Namakamu) memberhentikan langkah kakinya begitupun dengan Iqbaal. (Namakamu) mendekati Iqbaal yang menjulang tinggi. Tinggi (Namakamu) hanya sampai dada Iqbaal saja. Dia terlihat kecil.
Iqbaal melihat (Namakamu) sangat dekat dengannya, jantungnya berdebar kuat.
Iqbaal melihat senyuman (Namakamu) kepadanya, dan entah kenapa ia ingin melihat senyuman itu setiap detiknya.
"Jangan sampai buat gue patahin leher lo. Lo aja pindah dari planet ini!" bisik (Namakamu) dengan penuh ancaman. Dan ia pun pergi meninggalkan Iqbaal yang masih mematung, terdiam.
Iqbaal menyunggingkan senyumannya yang tidak ia tahankan, ia bahkan memegang dadanya yang berdetak kuat dengan tatapannya ke arah punggung gadis itu. "Kenapa dia cantik coba?" gumam Iqbaal dengan tatapannya tidak beralih dari (Namakamu).
**
BERSAMBUNG
BYE: VENAPZ

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
FanfictionMeeting you was fate, becoming your friend was choice, but falling in love with you was completely out of my control. "Kalau lo jadi pacar gue, gue jamin, hidup lo bahagia!" Ucap Iqbaal dengan penuh keyakinan. "Dih, siapa lo? SELEBGRAM?!" hina (Nama...