(Namakamu) berjalan menuju halte tempat biasa menunggu bisnya. Setiap langkah kakinya, airmatanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Sejak Zidny memfitnah dirinya, semua teman-teman sekolah memandangnya dengan buruk, mengolok-olok dirinya, dan bahkan mengerjainya dengan mengisi sampah di dalam tasnya.
(Namakamu) menutup mulutnya untuk menahan tangisannya agar tidak terdengar dan terlihat, dadanya begitu sesak menahan tangisan itu.
"B-bang Ari, aku se-sedih," isak (Namakamu) dengan begitu sedihnya.
(Namakamu) berjalan dengan pelan, tidak ada yang menemani dirinya sekarang. Dia menanggung kesedihannya, ia menanggung perlakuan mereka sendiri. Dulu, Zidny menemaninya jika memiliki masalah, namun sekarang, dia lah yang memulai masalah itu.
Ia mengusap airmatanya dengan tangannya yang bergetar, lalu mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya. Tetapi, yang ada ia kembali menangis. (Namakamu) pun berakhir jongkok, dia menenggelamkan kepalanya di kedua lengannya di atas lutut. Ia menangis di sana.
'Ada kalanya seseorang menyerah melawan kejamnya kehidupan. Tidak sanggup melawan kejamnya kehidupannya.'
"Ba-ng Ari." (Namakamu) memanggil saudara laki-lakinya yang telah meninggalkan dirinya tanpa ada kata pamit. Ia ingin menangis di dalam pelukan abangnya, namun dirinya hanya dapat memanggil nama itu dengan tangisannya.
"Kenapa?"
(Namakamu) terkejut, ia mengangkat kepalanya menatap siapa yang bertanya itu.
"Gue kira lo nggak bisa nangis."
Airmatanya diusap dengan lembut. (Namakamu) melihat senyuman manis itu diberi kepadanya.
"Iq-baal," gumam (Namakamu) dengan isakannya.
Iqbaal memberikan senyuman manisnya kepada (Namakamu). "Apa?" sahut Iqbaal dengan suara beratnya yang lembut.
(Namakamu) kembali meneteskan airmatanya, ia kembali menangis di hadapan Iqbaal untuk pertama kalinya. "Iqbaal," isak (Namakamu) dengan rasa sesaknya.
Iqbaal mengusap puncak rambut (Namakamu) dengan lembutnya. "Gue di sini, lo bisa nangis sampai lo puas."
(Namakamu) akhirnya mengeluarkan rasa sedihnya, ia menangisi kejahatan yang dibuat mereka kepada dirinya.
"Iqbaaalll.." Hanya itu yang dapat (Namakamu) ungkapkan di setiap tangisannya.
Dan Iqbaal, dengan setianya menunggu (Namakamu) walau hatinya masih dengan tetap patah hatinya.
'Benar kata Bryan. Gue nggak pantas buat marah, karena di antara gue dan dia tidak ada kejelasan hubungan nyata. Siapa gue yang bisa marah karena dia berciuman dengan yang lain?'
**
Sebelumnya...
"Eh, lo tahu kabar nggak, sih?" tanya Karel yang baru saja berlari cepat menuju kelas mereka yang kosong dari murid-murid lainnya.
Iqbaal tidak peduli, ia masih dengan ponselnya sembari mendengarkan sebuah lagu.
"(Namakamu) melakukan kekerasan sama temannya, Zidny. Gila! Gue kira dia baik, anjir! Ternyata kejam juga," sambung Karel sembari menggelengkan kepalanya.
Bio menaikkan kedua bahunya santai, "kita nggak tahu tentang manusia lainnya. Depannya baik, belakangnya?"
Bryan melirik Iqbaal yang tampaknya masih tidak dapat dijangkau. Dia terlihat lebih pendiam dan sedikit pemarah. Makanya, Karel, Bio, dan dirinya tidak ada satu pun yang berani mengganggu Iqbaal.
"Jadi, gimana nasib (Namakamu) sekarang?" tanya Bio penasaran.
"Ya, gimana coba? Dikerjain abis lah!" balas Karel sembari mengambil posisi duduk.
Bryan bersedekap dada sembari menatap Iqbaal yang masih belum mendengar kabar itu.
"Baal," panggil Bryan sembari mendorong kursi Iqbaal dengan satu kakinya.
Iqbaal berdecak kecil, ia merasa terganggu. "Apa?" balas Iqbaal dengan kesal.
Bryan memberikan kode untuk membuka earphone-nya. Iqbaal dengan malasnya membuka itu, dan menatap Bryan dengan kesal.
"(Namakamu) dikerjain."
Iqbaal menghentikan jarinya yang sejak tadi bergerak di layar ponselnya. Ia terdiam.
"Dia berantam sama Zidny sampai-sampai bikin Zidny terluka."
Karel dan Bio melihat Iqbaal tidak seperti biasanya. Iqbaal tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti itu.
"Sekarang pasti anak kelasnya ngerjain (Namakamu) habis-habisan," ucap Karel dengan serius.
Iqbaal meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja. Entah kenapa dia merasa gelisah.
"Bukan urusan gue," balas Iqbaal dengan suara beratnya, tetapi gerakan tubuhnya tidak sesuai dengan perkataannya.
Bryan menyunggingkan senyumannya. "Gue cuma bilang, gue nggak minta lo buat melakukan sesuatu," lanjut Bryan dengan senyumannya.
Bio tertawa kecil. Karel menyembunyikan tawannya dengan tangannya.
Iqbaal kini mengusap wajahnya dengan kasar. Bryan mulai menepuk bahu Iqbaal dengan pelan. "Lo nggak berhak marah sama dia, karena lo bukan siapa-siapa dia, Baal. Tapi, kalau khawatir, lo datangi dia, kasih dia perlindungan."
Iqbaal menatap Karel yang menganggukkan kepalanya, begitu juga dengan Bio yang memberikan senyuman pendukung kepada dirinya.
"Gue tahu kali lo udah suka sama dia." Ucap Bryan dengan senyumannya.
**
Sekarang ia tahu perasaan bagaimana para mantannya menangisi, marah kepada dirinya yang semena-mena memutuskan hubungan mereka. Iqbaal merasakan sakit yang sama ketika dirinya melihat (Namakamu) berciuman kepada Candra, tapi ia tidak bisa marah karena dirinya tidak memiliki hak untuk cemburu.
Biarkan lah rasanya ini menjadi hukuman untuknya, hukuman untuk dirinya yang selama ini mempermainkan perasaan setiap perempuan yang menaruh harapan suka kepadanya.
Iqbaal mengusap kembali airmata (Namakamu) dengan lembutnya. "Seandainya gue bisa gantiin rasa sakit lo, pasti gue lakuin, (Namakamu). Maaf, tentang tadi gue nggak sapa lo," ucap Iqbaal dengan suara lembutnya.
(Namakamu) hanya menangis dengan tatapannya ke arah Iqbaal yang setia menunggu dirinya.
Iqbaal memberikan senyuman menenangkan itu.
**
Bersambung
By: Minrik
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
FanficMeeting you was fate, becoming your friend was choice, but falling in love with you was completely out of my control. "Kalau lo jadi pacar gue, gue jamin, hidup lo bahagia!" Ucap Iqbaal dengan penuh keyakinan. "Dih, siapa lo? SELEBGRAM?!" hina (Nama...