9

1.6K 363 70
                                    

"Iqbaal."

Iqbaal yang tengah merapikan buku-bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas sekolah itu pun terhenti, ia mendengar namanya dipanggil dengan suara lembut itu. Segera, Iqbaal mencari sumber suara itu.

Ia melihat (Namakamu) tersenyum sembari berdiri di pintu kelasnya. (Namakamu) menyampirkan rambutnya yang tergerai indah itu. "(Namakamu)," gumam Iqbaal dengan pelan.

(Namakamu) berjalan memasuki kelas Iqbaal sembari melihat-lihat isi kelas tersebut. "Jadi, kelas Iqbaal di sini? Rapi, ya," puji (Namakamu) sembari melihat pajangan-pajangan kelas itu.

Iqbaal melihat (Namakamu) bagaikan magnet yang tidak bisa dialihkan. (Namakamu) berjalan menuju meja guru, lalu mengambil posisi duduk di ujung meja itu. "Iqbaal masih lama nggak pulangnya? Aku mau numpang soalnya, boleh?" tanya (Namakamu) dengan suaranya yang lembut.

Iqbaal menganggukkan kepalanya, tetapi tatapannya tetap kepada (Namakamu). (Namakamu) semakin tersenyum bahagia saat Iqbaal mengizinkannya untuk numpang. "Iqbaal ternyata baik ya. Nggak ngerepotin, kan?" tanya (Namakamu) sembari mengambil langkah ke arah Iqbaal.

Iqbaal menatap (Namakamu) kini tidak jauh darinya. (Namakamu) kini mendekati Iqbaal yang tidak lepas menatap dirinya.

"Ternyata, Iqbaal dari dekat gini ganteng banget." Bisik (Namakamu) dengan senyuman manisnya.

Iqbaal terpesona melihat (Namakamu) yang tersenyum kepadanya. "Kenapa cantik?" tanya Iqbaal dengan suaranya yang berat.

(Namakamu) tertawa kecil mendengar itu, dan Iqbaal semakin suka. "Aku cantik? Masa sih?" goda (Namakamu) dengan suaranya yang pelan.

Iqbaal betah menatap (Namakamu) dari dekat seperti ini."Cantik," puji Iqbaal dengan suaranya yang sedikit serak.

Pipi (Namakamu) berona merah. Iqbaal menyunggingkan senyumannya, ia menyukai itu.

(Namakamu) menarik lembut dasi Iqbaal, Iqbaal pun mengikuti tarikan lembut itu. Kini dirinya semakin dekat dengan (Namakamu). "Kalau dari dekat gini, masih cantik?" bisik (Namakamu) dengan lembut.

(Namakamu) dengan cepat mengecup bibir Iqbaal, Iqbaal terpaku.

"I love you, Iqbaal."

"Baal.."

"BAAL!"

"YAILAH! MALAH TIDUR! WOI BANGUN!"

Iqbaal membuka kedua matanya dengan dilihat oleh teman-temannya. Ia bangun dengan rambutnya sedikit berantakan.

"Disuruh tunggu bentar, malah asik tiduran. Mana mulutnya pakai monyong-monyong gitu. Mimpi apaan lo? Ciuman?" celoteh Karel dengan keringatnya yang ia usap dengan tangan.

"Kalau ada film baru, bagi lah, Baal! Setia kawan, cuy!" balas Bio yang tangannya tampak kotor.

"HAHAHAA.. LO NGAPAIN BIBIRNYA MONYONG-MONYONG ANJIR!" tawa Bryan tidak tertahankan.

Iqbaal memberantaki rambutnya dengan kasar, ia frustasi dengan mimpi tadi. Kenapa bukan kenyataan?

"Diem lo semua! Bikin kesal aja," ucap Iqbaal dengan suara beratnya sedikit serak.

"Dih, salah lagi. Ngapa lo marah? Nanggung ciumannya? HAHAHAHA," tawa Bryan yang tidak terkontrol.

Karel dan Bio menggelengkan kepalanya menatap Iqbaal.

Iqbaal sempat tertidur di bangku pinggir lapangan, ia menunggu teman-temannya untuk cabut rumput di pinggir lapangan ujung sana karena kedapatan membuang sampah sembarangan, selagi teman-temannya menunggu, ia pun tidur.

Tapi, kenapa harus mimpi seperti ini? Iqbaal berdecak kecil dengan raut wajahnya yang kesal.

Ia menggigit bibir bawahnya yang masih tidak rela dengan mimpi itu, tapi rasanya itu nyata. Iqbaal kembali mengacak rambut belakangnya.

"Eh.. eh, (Namakamu) tuh."

"Mana..mana."

"Sama temannya tuh."

Iqbaal yang mendengar itu seketika melihatnya, ia melihat gadis itu berjalan bersama teman yang kemarin dikenalkan olehnya. Iqbaal melihat tawa dari (Namakamu), pipi berona itu, dan tangannya itu.

"Kenapa jadi makin cantik gini?" gumam Iqbaal dengan suara beratnya.

"Siapa, Baal?" tanya Karel yang mendengar ucapan Iqbaal.

"Pak Rusdi noh cantik," balas Bio dengan tatapan dendamnya kepada guru matematika itu.

Bryan menggelengkan kepalanya melihat teman-temannya itu.

**

"Zee..tungguin!" panggil (Namakamu) sembari berlari.

Zidny yang berada di depan pun memberhentikan langkah kakinya, ia tidak membalikkan badannya.

(Namakamu) pun akhirnya tepat di samping Zidny, napasnya sedikit memburu. "Cepat banget sih lo jalan," keluh (Namakamu) sembari menepuk bahu Zidny.

Zidny sedikit menyingkirkan tangan itu, lalu menatap (Namakamu) dengan dingin. "Makanya jangan kelamaan! Gak usah manja deh suruh orang nunggu-nunggu gitu!" balas Zidny dengan dinginnya.

(Namakamu) mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Zidny. "Kok gitu, sih? Biasanya juga gue—"

"Apaan, sih?! Gue udah muak ya buat nunggu-nunggu gitu! Nggak terima lo? Yaudah, sono cari teman yang baru." Dan Zidny pun pergi meninggalkan (Namakamu) yang menatapnya bingung.

"Kok marah, sih? Gue salah apa coba? Dari kemarin udah nggak senang banget sama gue," gumam (Namakamu) dengan sedih.

(Namakamu) menghela napasnya pelan, lalu berjalan mengikuti Zidny.

**

Bersambung

By : Minrik

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang