Hujan begitu deras membuat beberapa orang berteduh disebuah tempat yang aman, berlari-lari agar tidak membasahi pakainnya. (Namakamu) yang tengah menunggu bis di halte seperti biasa pun mendongakkan kepalanya mengarah ke langit mendung itu.
"Kok hujan, sih?" tanya (Namakamu) sembari melihat air hujan itu begitu lebat turun.
(Namakamu) menghela napasnya sembari menunggu bisnya datang. Halte ini tidak terlalu luas, hanya bisa menampung 5 orang jika ada yang berteduh di sini, tetapi kali ini ia hanya sendiri di dalam halte ini.
Angin bertiup kencang sehingga air hujan itu mulai sedikit demi sedikit masuk ke dalam halte.
"Bisnya mana, sih?" gumam (Namakamu) yang mulai kedinginan.
Disaat ia tengah menunggu bisnya datang, ada dua orang berlari ke arah halte ini. (Namakamu) menggeserkan dirinya untuk memberi bangku kosong itu kepada orang yang baru saja datang. Ia merasakan air hujan itu mulai membasahi seragamnya. Walaupun tidak basah kuyup.
"Bisnya dari tadi belum datang?" Seseorang yang berada di sampingnya pun membuka suara.
"Iya, nih. Padahal biasanya nggak selama ini," jawab (Namakamu) sembari bersedekap dada agar tidak kedinginan.
(Namakamu) terus memandang ke arah jalan di mana bisnya akan datang. Ia ingin segera cepat pulang. Ia mulai kedinginan. Tapi, tak lama setelah itu, seseorang menyampirkan jaket tebal ke (Namakamu).
(Namakamu) terkejut, segera ia mengalihkan tatapannya kepada seseorang yang menyampirkan jaketnya kepada dirinya. Ia seketika membolakan kedua matanya saat melihat Iqbaal lah yang memberikan jaket itu kepadanya.
Iqbaal sudah memakai baju kaos hitamnya itu dengan celana sekolah berwarna abu-abu, Iqbaal tidak memandang (Namakamu), ia memandang hujan.
"Lo? Sejak kapan di sini?" tanya (Namakamu) dengan kernyitan di dahinya.
Iqbaal menaikkan kedua bahunya dengan santai, "sejak hujan?" balas Iqbaal dengan suara beratnya.
(Namakamu) memutarkan kedua bola matanya dengan malas, ia pun berniat untuk memberikan jaket itu kepada Iqbaal, tetapi terlebih dahulu Iqbaal menghentikan niatnya. Kini tatapan mereka bertemu sedikit lama.
"Gue mau balikkin jaketnya," ucap (Namakamu) menatap Iqbaal.
Iqbaal menatap (Namakamu) dengan serius. "Gue nggak mau lo kedinginan," balas Iqbaal dengan suara beratnya yang terdengar serius.
"Terus lo?" tunjuk (Namakamu) yang melihat Iqbaal tidak memakai apapun untuk melindungi dirinya dari dinginnya hujan.
Iqbaal dengan penuh perhatian merapikan jaketnya kepada (Namakamu). "Gue laki-laki, gue lebih kuat fisiknya. Udah, nggak usah mikirin gue."
(Namakamu) terdiam, ia merasakan perlakuan Iqbaal kepadanya dengan baik. Iqbaal pun berdiri dari duduknya. "Tuh, bis lo udah datang," ucap Iqbaal sembari melihat kedatangan bis itu.
(Namakamu) pun segera melihat bis itu, dan benar, akhirnya datang juga. Ia pun berdiri bersiap untuk masuk ke sana. Bis itu membuka pintunya, dan saat ia hendak masuk ke dalam bis, Iqbaal terlebih dahulu melindungi kepalanya dari hujan dengan kedua tangannya.
(Namakamu) dengan cepat masuk ke dalam bis itu tanpa ada air hujan yang menetes ke kepalanya. Malah, ia melihat rambut Iqbaal yang basah.
Iqbaal kembali berteduh di halte itu lagi, sembari menunggu bis yang (Namakamu) tumpangi itu pergi.
"Dia kenapa, sih?" gumam (Namakamu) yang sudah duduk dekat dengan jendela bis itu. Bisnya pun berjalan, ia melihat Iqbaal masih di sana dengan tatapannya mengarah ke bis yang ia naikki.
(Namakamu) menghela napasnya pelan, lalu menatap jaket berwarna abu-abu ini. "Kenapa harus gue?"
**
"Pagi, Zee!"
(Namakamu) mengangkat alisnya bingung saat Zidny tak merespon ucapannya. Aneh, tak seperti biasanya.
"Zee, lo udah kelar PR kimia belom? Adoh, sumpah pala gue mumet. Gue belum kelar nomor 4, gue lihat—"
"Lo berisik banget sih, (Namakamu)!"
(Namakamu) mengerjab, "Kok lo marah sih?"
Zidny bersedekap dada, "Makannya kalau guru nerangin, lo perhatiin."
"Lah, terus jawaban nomor 4 gue kosong, dong?"
"Bukan urusan gue."
(Namakamu) menghela. Nggak biasanya Zidny kayak gini, padahal mereka tuh selalu tukar-tukaran jawaban PR. Kalau (Namakamu) gak tau, Zidny akan ngasih tau. Kalau Zidny nggak tau, (Namakamu) yang kasih tau.Tapi, aneh aja tiba-tiba Zidny jadi kayak gini.
"(Namakamu)."
(Namakamu) menoleh, melihat beberapa cewek dikelasnya kini berkumpul mengelilingi mejanya dan Zidny.
"Ya?" tanya (Namakamu).
"Lo dan Iqbaal tuh pacaran, ya?"
(Namakamu) melotot, "HAH? NGGAK LAH! HOAX."
"Soalnya waktu itu orang-orang pada lihat lo disamperin Iqbaal. Aaa, beruntung banget."
Disaat cewek-cewek pada ketawa sambil cerita gemas gitu, Zidny diam-diam mengepalkan kedua tangannya dia, kemudian menatap (Namakamu) dingin.
Seharusnya dialah yang di posisi (Namakamu). Tapi, kenapa malah (Namakamu) yang mendapatkan posisi itu?
Menyebalkan!
**
BERSAMBUNG
By: Venapz
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
FanfictionMeeting you was fate, becoming your friend was choice, but falling in love with you was completely out of my control. "Kalau lo jadi pacar gue, gue jamin, hidup lo bahagia!" Ucap Iqbaal dengan penuh keyakinan. "Dih, siapa lo? SELEBGRAM?!" hina (Nama...