1. How it Begins

1K 37 18
                                    

Aku kembali memikirkan kata-kata Eomma tadi pagi saat Eomma mengunjungi apartemenku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku kembali memikirkan kata-kata Eomma tadi pagi saat Eomma mengunjungi apartemenku. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaannya setiap akhir pekan. Memasuki apartemenku pagi-pagi, bahkan sebelum aku bangun dengan password yang tentu saja sudah sangat dihafalnya. Tak lupa Eomma selalu membawakan persediaan makanan yang ia masak untukku dalam jumlah yang banyak, mengingat aku malas sekali mengisi kulkas dengan makanan yang sehat. Dan tadi pagi, Eomma kembali membicarakan pembicaraan yang sudah bisa aku tebak alurnya. Apalagi kalau bukan pernikahan. Ayolah Eomma, bagaimana bisa kau meminta anakmu yang tampan ini untuk segera menikah. Kekasih saja aku tidak punya. Ah, perlu diperhatikan dan digaris bawahi, bahwa aku masih sendiri bukan karena aku tidak bisa menggaet gadis manapun, tapi memang saat ini aku sedang tidak ingin memiliki seorang kekasih. Kecuali dia, gadis itu. Dan menurutku umurku masih muda – untuk memiliki sebuah hubungan yang dilandasi ikatan suci itu. Pernikahan. Tapi tidak menurut keluargaku. Mereka bilang umurku sudah sangat cukup untuk menikah bahkan memiilki seorang anak. Dan omongan Eomma tadi pagi, walaupun sering ia bicarakan denganku, tapi alasannya cukup membuatku terdiam.  


***

Aku menghampiri Eomma yang sedang sibuk menjejali kulkasku dengan berbagai makanan. Mengambil air dingin yang ada di kulkas lalu menegaknya sambil memperhatikan gerak-gerik Eomma.

“Mau sampai kapan kau begini, Dokyeom-ah? Tidakkah kau memikirkan siapa yang membuatkanmu sarapan di pagi hari? Dan siapa yang membersihkan apartmenmu?” sambil menatap prihatin kepadaku.

“Eomma ingin aku mencari seorang istri atau mencari pembantu, eoh?” balasku sambil mencoba mengalihkan pembicaraan serius ini. Aku sudah cukup hafal. Ah, tidak, sudah sangat hafal di luar kepala arah pembicaraan ini.

“Aiiissh, kau ini!” geram Eomma sambil mendorong pelan kepalaku.

“Kau lihat, Eomma sudah tua, Dokyeom-ah. Eomma ingin menimang cucu.” Aku hanya menatap jengah pada Eomma sambil mengusap kepalaku yang barusan menjadi sasaran dorongan Eomma.

“Aiish, sungguh. Bahkan Eomma sudah mendapatkan cucu dari Noona. Mengapa terus mendesakku, Eomma?”

“Yak! Satu cucu saja tidak cukup. Kau tidak tahu, Eomma dan Appa saja sering berebutan untuk bermain dengan anak kakakmu itu. Dan sadarlah dengan umurmu! Apa kau ingin saat kau mempunyai anak nanti di saat umurmu sudah jauh lebih tua? Apa kau harus melihat Eomma dan Appa terbaring sakit dulu baru kau mengenalkan seorang gadis pada kami?”

Suara deringan ponsel membuyarkan lamunanku beberapa saat yang lalu. Melirik sebentar, membaca nama kontak yang terpampang, lalu mengangkatnya.

“Wae?” jawabku dengan ketus.

“Yak! Sopanlah sedikit pada Noonamu, anak nakal!” sedikit kujauhkan ponsel dari telingaku saat mendengar lengkingan suara cempreng kakak perempuanku.

Married not DatingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang