12. Something to Say (B)

214 15 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Saranghae. Saranghae, Cho Miyeon.”

.

.

“Ya?”

Miyeon sadar bahwa pertanyaan yang ia lontarkan saat ini sangat bodoh. Hanya saja, ia ingin memastikan -walau ia sudah dengan sangat jelas mendengar apa yang Dokyeom ucapkan- bahwa ia tidak salah mendengar. Bahwa Dokyeom tidak salah bicara.

“Aku mencintaimu.” ucap Dokyeom yang masih mendekap tubuh Miyeon dengan erat. Lalu dengan sengaja Dokyeom meletakkan dagunya di puncak kepala Miyeon.

Miyeon kembali terdiam. Otaknya kembali mencerna kata-kata yang masih terdengar tabu di telinganya. Cinta. Dokyeom baru saja mengatakan bahwa ia mencintai dirinya. Ya, Tuhan! Dokyeom mencintai dirinya dan baru saja mengungkapkannya.

“Kau… mencintaiku?” tanya Miyeon lagi namun kali ini nada suaranya terdengar bergetar. Dan ia tidak tahu mengapa.

“Ya, ampun Miyeon-ah. Kau ingin sampai berapa kali aku mengucapkan kata ‘Saranghae’?” kini Dokyeom melonggarkan dekapannya pada tubuh Miyeon dan kedua matanya segera menatap istrinya yang kini sedang menundukkan wajahnya.

“Itu.. aku..” Miyeon bergumam tidak jelas karena tidak tahu harus berkata apa sedangkan Dokyeom kini sedang tersenyum kecut. Tentu saja saat ini ia sangat ingin mendengarkan balasan dari Miyeon atas apa yang baru saja ia ucapkan. Dokyeom sesungguhnya sangat ingin mendengar kata itu meluncur dari bibir Miyeon, namun sepertinya melihat dari bagaimana Miyeon yang kini hanya bergumam tidak jelas, Dokyeom tahu bahwa Miyeon tidak akan membalas ucapannya, saat ini juga. Entah karena Miyeon masih terlalu malu atau memang karena wanita itu tidak merasakan hal yang sama seperti apa yang Dokyeom rasakan. Entahlah, Dokyeom tidak tahu. Namun jika boleh memilih, tentu saja ia memilih opsi pertama yang ada di otaknya.

Tetapi, satu hal yang pasti. Jika Miyeon tidak merasakan apa yang Dokyeom rasakan saat ini, maka ia akan tetap berusaha untuk menggerakkan hati Miyeon.

“Sudahlah, lebih baik kita tidur. Ini sudah sangat larut dan besok kita harus berangkat kerja, bukan?” ucap Dokyeom setelah membulatkan tekad. Menyadarkan Miyeon betapa ia sangat mencintai wanita itu lebih dari sekedar ucapannya tadi. Lebih dari yang Miyeon bayangkan.

Sedangkan Miyeon yang semula sudah dilanda perasaan tidak menentu, kini bertambah dengan perasaan bingung atas sikap Dokyeom yang terkesan biasa saja. Seakan-akan tidak ada percakapan yang baru saja berhasil membuat perasaannya campur aduk. Bagaimana bisa Dokyeom bersikap biasa saja seperti itu? Kenapa ia tidak bisa seperti Dokyeom?

Married not DatingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang